Langsung ke konten utama

Ode untuk CRCS 2011

“Zam, alhamdulilah ditanda-tangani sama Pak Lono.. tinggal Bu Fatimah.. besok ke kampus yah, aku dah janjian sama Sam dan Maurisa di kampus besok… terima kasih bantuannya sobat… semoga tesis pean cepat di-acc. Amien.”
(Message by Iwan Setiawan, received on September 17, 2013. 18:20:09)

Sambil mengetik ini, aku membayangkan dewi kebahagiaan yang sedang ramah kepada sahabat, mentor sekalian salah guru kehidupanku, Bang Iwan Setiawan. Sore ini, beliau sukses mendapat tanda tangan penguji tesisnya, Pak Lono Simatupang, dan besok bersiap-siap menemui pembimbing lainnya. Aku yakin, sama haqqul yaqin-nya dengan beliau, bahwa besok beliau mudah akan mendapat tanda tangan tersebut. Itu artinya, perjuangan berat untuk kuliah di Pascasarjana CRCS UGM selama dua tahun pun pelan namun pasti akan menemui titik akhirnya, wisuda. Mas Iwan mengikuti jejak Pak Afdilla, Bu Nyai Maurisa, Kang Anam, Mas Wiwit, dan Jeng Palupi, menjadi angkatan 2011 yang tepat waktu menyelesaikan S2-nya selama 2 tahun. Meninggalkan kami yang masih “betah” menjadi mahasiswa satu atau dua semester lagi kedepan di CRCS UGM.

Masih teringat, setelah malam tadi Bang Iwan berjuang keras menyelesaikan revisinya dan berdebat kecil denganku yang menemani sambil terkantuk-kantuk. Beliau berkata dengan sungguh-sungguh, seolah ingin merefleksi dan menyingkat perjalanan 2 tahunnya menjadi mahasiswa S2 di CRCS. Dengan bangganya beliau kurang lebih bilang begini, “Sekarang, di tahun keduaku menjadi mahasiswa di CRCS, aku merasa menjadi lebih relijius. Aku jadi lebih rajin tadarus Qur’an.  Sekarang sudah sampai Surat Al-Hasyr, sudah hampir khatam qur’an. Padahal dulu tahun pertama di CRCS, rasanya aku sudah tersesat menjadi orang yang “”liberal” dan tidak relijius.”

Pengakuan itu, membuatku yakin bahwa kita benar-benar beruntung bisa kuliah di CRCS. Kita menemukan kedalaman relijiusitas dalam beragama disini, bukannya malah semakin sekuler dan lepas dari nilai agama yang kita anut. Mungkin inilah kontradiksi CRCS yang takkan pernah bisa diterima orang-orang yang tidak suka dengan eksistensi CRCS. CRCS bagi mereka, orang-orang yang menganggap diri “lurus” dalam beragama adalah jurusan yang lekat dengan julukan super jelek. Agen Barat, Kaum Liberal, dan Pendukung Lesbian dan Homoseks adalah sekian julukan yang sering diterima orang CRCS dari mereka yang menganggap diri paling suci ini.

Masih terkenang, ketika kita mencoba memanggungkan Irshad Manji, feminis muslimah yang lesbian asal Kanada, CRCS digrebek ramai-ramai oleh orang-orang MMI dan FPI, dan di demo para aktivis wanita Hizbut Tahrir dan KAMMI UGM. Tidak perduli dengan independensi dan kebebasan akademik yang dijunjung tinggi di kampus UGM, sebagian dari mereka merangsuk masuk penuh amarah, berteriak-teriak agar diskusi digagalkan. Kita menyerah, memilih mengungsikan Irshad Manji setelah rektorat UGM mendukung usulan para pendemo dan negoisasi yang gagal. Tak puas sampai disitu, malamnya juga kantor Yayasan LKiS, kita di grebek lagi, bahkan sampai kaca-kaca pecah, dan beberapa perempuan peserta diskusi dipukuli, seperti yang dialami Bu Nyai Maurisa. Preseden ini tentu semakin menguatkan citra CRCS yang mereka anggap menyimpang dari norma-norma ini.

Kita, seperti mengalami horror yang benar-benar menyedihkan waktu itu. Tapi disitulah kemudian, kita menyadari bahwa sikap beragama yang “marah” seperti itu, bukanlah sikap beragama yang ideal. Itu menunjukkan ketidak-mauan kita berdialog dan menghargai pendapat dan eksistensi orang lain. Pengalaman seperti itu, meneguhkan keyakinan dan keimanan kita, dibawah ancaman-ancaman teologis yang lucu oleh para penganut agama yang “pemarah” itu. Kita, ingin menjadi antithesis dari sikap mereka yang benar-benar miskin moralitas dan penuh dengan kebencian. Kita, mengalami transformasi relijiusitas yang semakin mendalam, dan tentu saja penuh welas asih dalam memandang sebuah persoalan. Pijakan kita tidak lagi hitam dan putih yang hanya bersandar tafsir segelintir orang terhadap teks agama, tapi lebih pada nilai kemanusiaan dan kebaikan yang universal. Kita menyadari, hidup tidaklah sehitam-putih itu, tapi rumit dan butuh pandangan yang lebih luas lagi untuk menyikapinya.

Itulah renungan relijiusitas yang seperti kata Bang Iwan, “tiba-tiba menjadi keseharian” kita. Meskipun bersifat personal dan berbeda-beda, aku haqqul-yaqin, kita memang akan menjadi lebih relijius setelah digembleng dengan materi-materi yang diluar dianggap “berbahaya” bagi orang yang fanatik dalam beragama. Kita tentu menghindari sikap fanatisme, sebuah sikap yang memakai pendekatan hitam-putih dalam menyikapi realitas, dan paling merasa benar sendiri. Di CRCS, kita diajari untuk menjadi pribadi yang relijius, tapi terlepas dari cangkang fanatisme yang sempit itu. Dan saya yakin, pribadi para lulusan CRCS harusnya bertransformasi menjadi seperti seperti itu, atau meminjam bahasanya Pak Bono, “To be religious is to be interreligious.” Kita menemukan relijiusitas kita masing-masing, setelah bergulat dengan sekian teori dan praktik yang mengajari kita untuk mengenali dan memahami “orang lain”, dan menghormati pilihan-pilhan mereka yang berbeda dalam beragama.

Akan tetapi, kabar bahagia dari Bang Iwan dan pencerahan keberagamaannya itu jugalah yang menyadarkanku pada satu siklus hidup yang takkan bisa kita elakkan; perpisahan. Keberhasilan Bang Iwan dalam revisi dan kemudian nanti wisuda pada Oktober depan telah menjadi tanda akhir dari manis dan getirnya proses belajar bersama kita di CRCS. Kita akan kembali ke tempat masing-masing, kembali sibuk dengan dunia sehari-harinya, dan seiring berjalannya waktu, kita akan lupa satu sama lain. Bukan karena ingin saling melupakan, tapi Sang Waktu memang tidak mengenal kata masa lalu dalam perjalanannya. Maka, aku tulis ini sebagai penanda, bahwa detik dan tempat yang pernah kita pijak dan pengalaman yang kita lalui bisa terdokumentasi rapi.

Sekali lagi, selamat untuk Bang Iwan, Pak Afdilla, Bu Nyai Maurisa, Kang Anam, Mas Wiwit, dan Jeng Palupi yang sudah bersiap untuk wisuda bulan depan. Doakan kami yang belum juga bisa sesukses kalian agar bisa cepat menyusul. Ada aku, Bang Bodrek, Bang Asman, Kang Robith, Mbak Nafisa, Jeng Imma, Mas Boy dan Brother Sam yang  moga-moga tidak anda lupakan sebagai teman di CRCS. Angkatan 2011 memang bukan angkatan terbaik yang dipunyai CRCS (riwayat dari Bang Bodrek, Mas Anchu dan Mas Iqbal kemaren mengatakan, “thesis anak angkatan 2011 itu tidak ada yang bagus, karena kejar setoran biar gak bayar semesteran” hehehe), tapi setidaknya kita mempunyai kenangan, pengalaman, cerita dan hikmah yang tidak akan dipunyai oleh angkatan lain.

Kita pernah digrebek oleh MMI dan FPI, dipukuli MMI, sering kuliah sambil ketiduran, pernah marah-marah sama Professor di KBM, pernah membuat respon paper 15-30 menit sebelum kelas dimulai, gagal menghidupkan Relief dan seabrek “dosa” yang kita lakukan kepada CRCS. Tapi kita juga mengakui, CRCS sudah memberikan kita “relijiusitas” yang tak ternilai bagi siapapun. Mungkin bukan sekarang saatnya kita membuat CRCS bangga, tapi di masa depan, siapa tahu.

Kita mempunyai Bang Iwan yang super rajin mengkoleksi artikel dan makalah dan tokoh agama di Ciamis, Pak Afdilla yang mempunyai IPK sempurna dan sudah diterima di Hartford Seminary, USA, Bu Nyai Maurisa yang super cerdas, baik hati dan juga sudah diterima di Florida International University (FIU), Mas Wiwit yang penyabar dan siap menjadi dosen teladan di UMP, Kang Anam yang terkenal sebagai aktifis lintas iman dan gender, Jeng Palupi yang pintar melukis dan bermental baja, Mas Robith yang ahli linguistik dan ‘alim dalam agama Islam, Jeng Imma yang ahli translation dan calon jadi orang luar negeri, Bang Bodrek yang rumahnya selalu terbuka untuk siapapun dan periset terkenal, Mas Asman yang aktifis dan pintar lobby tingkat tinggi, Mbak Nafisa yang penyabar dan ahli teologi, Mas Boy yang siap menjadi Kiai di Cilacap dan Guru inspiratif, Brother Sam yang dosen di Makassar dan penulis muda berbakat, serta aku yang masih labil dan suka merepotkan orang disana sini. Kalian telah menjadi pribadi terbaik yang pernah kukenal, sebagai sahabat terbaik, sebagai mentor yang hebat dan para guru kehidupan yang tak pernah berhenti mengalirkan inspirasi terbaik untukku dan lingkungan sekitar.

Semoga perkenalan kita takkan lekang dimakan waktu. Semoga kita akan bisa kembali bertemu untuk memberi tanda kebaikan bagi sesama. Semoga kita menjadi lulusan yang benar-benar bisa dibanggakan oleh CRCS UGM dimasa depan. Semoga, kebaikan dan kemanfaatan selalu menjadi teman hidup kita selamanya. Amin. :)

Mlangi, 17 September 2013

Komentar

  1. Terimakasih atas dokumentasi perjalanan akademiknya. Salam dari adik angkatan sampean CRCS 2020, doakan kami bisa menyusul.

    BalasHapus

Posting Komentar

Thanks for your comment. God bless you always. :)

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...