Langsung ke konten utama

Another Best Question for Identity


Response paper to Religion and Identity
Charles Taylor: The Self in Moral Space

Taylor thesis about the process of identity is as the dialectical process between us and our environment. He differs between condition and orientation (p.34). Those two are interwoven and make our identity based on our choice to choose what we feel the best for us. It means that there are no natural conditions that constitute us without our active action for those. In this sense, it seems to me that that Taylor tries to put the agency as the axis of life, which gives less for the role of structure such as society since we have and get our identity by choosing from our “conversation” with the situation outside. Although there is a dialectical process, we can see that the choice is coming from someone, rather than the influence from conditions outside.

In his paper, Taylor questions are more started with “Who.” I do not think that this question word is the best representation to question the identity. We have many other question such as When, Where, Why and What. The question word of “Who” seems to me that there is no stable or even no identity we have previously. It is very debatable then since we can ask when and where we should ask the question of “Who” should start. We do not have particular place and time to start the question of “Who” itself. It seems to me that Taylor assumes our identity as always in chaotic conditions, when there is no stable identity so that we should keep asking “Who am I?” in our whole life.

If this is true, then we could see that actually Taylor’s argument that Identity is “defined by the way things have significance for me” (p.34) is still blurring. Someone should take this as the main point to criticize Taylor when exactly there is no stable identity we have, so how we can choose those “significance things” without any correlation with our self building, which can be referred as our previous identity. Here is the contradiction I found from Taylor thesis. When we have no identity before, how then we could choose our action under the influence from ourselves and our environments.

I would argue that there is another appropriate question for our identity besides “Who”, which I think is more important than the question of Who as the first question of the identity. In this sense, I believe that those alternative questions are more appropriate for the assumption behind Taylor’s argument that we have a dialectical process for our identity.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...