Langsung ke konten utama

September

September
Kulipat mimpi
Kukantongi mantra

Lihat, tak ada lagi duka
Lihat, rindu kita melanglang buana

Ini September
Saat kita segera berangkat
Memula masa singkat, meski
Menyimpan geletar gelap
Dan sendu tasbih para malaikat
Melukis gemerlap esok
Merajut dunia
Melibas prahara

Tak usah bersedih
Sedang kesedihan pun mulai bosan
Jadi teman kecil kita
Mari sulut semangat
Biar berkilat semua karat
Dan benderang semua pekat

Untuk Bunga
Kutulis puisi untukmu
Agar terketuk segala pintu
Dan terbuka segala rahasia
Kita benar-benar berbeda
Meski Waktu selalu saja cemburu
Dengan diam yang kita bicarakan
Dengan cerita yang kita bisukan

Untuk Bunga
Engkaulah penanda baru
Pada setiap jejak yang kubuat
Untuk memintal ruang waktu
Meski jauh menjadi karib
Meski koma menjelma titik

Demi Waktu
Demi Waktu
Manusia selalu berada dalam kerugian

Demi Waktu
Manusia tempat segala kesalahan

Demi Waktu
Manusia-lah kekasihTuhan

Demi Waktu
Manusia-lah tempat segala kebaikan

Demi Waktu
Manusia selalu berada dalam kesempatan

Cinta
Adalah ketika hatimu menjadi sendu
Mendengar kebaikan menjadi nista

Adalah ketika otakmu menjadi beku
Mencerna teroris menjadi malaikat

Adalah ketika jiwamu menjadi satu
Melihat kekurangan menjadi hakikat

Cinta itu
Bukan sekedar aku padamu
Tapi tentang kita
Yang menjadi debu
Diterjang badai
Digilas ombak
Dilebur api
Menjadi diri sendiri

Nocturno
 Pagi yang lelah
Mentari menciumi dedaunan
Mencurigai embun
Yang masih saja bergelantungan

Malam tadi, kita berpesta sepi
Sementara bulan dan bintang
Menjadi bartender di depan kita

"Mari teguk sekejap anggur rasa kita" sengaumu.
"Dengan cangkir waktu dan botol-botol kesedihan" racaumu.
"Sepanjang malam sepanjang zaman" teriakmu.

Pagi yang lelah
Kuciumi mentari yang menciumi dedaunan
Ia terlalu indah terlewat
Meski jiwaku menangis kalap

Mlangi, 20 September 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...