Langsung ke konten utama

Malaysia, the second

Mendarat di KLIA (Kuala Lumpur International Airport), segera saja mata kami semua disambut dengan jejeran pesawat Malaysia Airlines (MAS) dan Airasia, dua pesawat kebanggaan orang Malaysia. Sebelumnya, ketika bersiap-siap mendarat, hanya sawit dan sawit yang menjadi pandangan kami. Memang, Malaysia sedang bergiat memacu penanaman sawit, agar bisa menyaingi Indonesia, sang pemimpin nomer satu produksi sawit sedunia.

Menjejakkan kaki di KLIA ini, adalah kesempatan keduaku menjejak negeri jiran ini. Mei atau Juni kemarin, aku sudah sempat masuk ke negara ini, meski hanya di Johor Bahru, negara bagian yang berbatasan langsung dengan Singapura. Artinya, Pasporku pun sudah dua kali di stempel oleh negara serumpun kita ini, hehe.

Seperti sudah pernah kutulis, bandara internasional adalah wajah pertama yang akan menyambut anda di suatu negara. Ia bisa jadi cerminan baik dan buruknya pelayanan di sebuah negara. Pada kondisi ini, Indonesia mesti mengakui kualitas pelayanan yang lebih baik daripada di Sukarno Hatta. Begitu turun dari pesawat, kami segera disambut dengan ruang tunggu bandara yang bersih dan luas. Tidak terlihat ada penumpang yang keleleran, duduk di lantai seperti yang baru kulakukan di ruang tunggu internasional Jakarta, 2 jam yang lalu.

Jangan salah, bandara KLIA rasanya punya jumlah pesawat internasional yang lebih banyak transit disini. Selain Emirates Airways (jadi inget Arsenal dan PSG, klub bola yang disponsori maskapai Abu Dhabi ini), ada Egypt Air punya Mesir, dan banyak lagi yang lain. Fasilitasnya juga oke, kamar kecilnya bersih dan yang pasti, tidak kehabisan air walaupun banyak yang keluar dan masuk. Yang menarik, ada hutan kecil-nya didalam bandara, jadi semacam tanah kosong ditengah-tengah yang penuh dengan pohon besar dan air terjun segala, serasa bukan di bandara.

Untuk menuju ke imigresen (imigrasi), ada auto-train, kereta monorail yang khusus mengantar para penumpang melintasi runaway atau landasan pacu pesawat terbang, tanpa harus keluar bandara seperti di Jakarta, atau tanpa harus capai jalan kaki menyeret bagasi. Cukup naik kereta, dan anda akan langsung sampai di jalur yang menuju imigresen. Begitu keluar, banyak terlihat para pramugari dan pilot maskapai-maskapai besar luar negeri yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng, berjalan cepat menyeret bagasi masing-masing. Pengen rasanya menyetop mereka,dan minta foto bareng hehehehe, sayang aku lupa bawa kamera dan juga tidak berani mengganggu mereka haha.

Menuju pintu imigrasi, pintu pemeriksaan yang banyak dan longgar membuat kami tidak butuh waktu lama untuk keluar dari bandara. Setelah ditanyai ada kegiatan apa di Malaysia dan berapa lama, kami disuruh mencap dua jari telunjuk kami diatas alat semacam fingerprint. Tidak tahu buat apa, tapi minimal lumayan keren lah daripada di soetta yang harus copot sabuk celanaku segala wkwkwk. Bahan saking longgarnya, kami bahkan bisa keluar dari screening tubuh dan bagasi tanpa diperiksa haha. Ini idenya Pak Samsul arif, yang melenggang kangkung tanpa ikut antrian screening. Lha berhubung petugasnya membiarkan, ya sudah kami ikut saja kelakuan mbeling beliau ini haha.

Kata Pak Samsul juga, ramainya Bandara KLIA ini memang dibuat sengaja liberal, dengan melonggarkan sekian dokumen imigrasi selonggar-longgarnya. Pengalaman pas ke Singapura dulu, kami akan diminta mengisi data diri, kemana dan berapa lama tinggalnya. Di Malaysia, you are free to come and go, cukup tempel 2 jari telunjuk anda ke mesin fingerprint, dan setelah itu bebas keluar dijemput atau naik taksi.

Dijemput brother Munir, mahasiswa ISTAC asal Nigeria, kami ternyata mesti menunggu lagi, karena masih ada 1 professor dari Prancis, Prof. Bruno Guiderdoin, ilmuwan perancis yang sudah masuk Islam, yang baru tiba dengan Emirates. Berhubung belum kenal, dan juga tidak dikenalkan, jadinya diam semua hahaha. Beruntung, dua hari kemudian, aku bisa dapat kartu nama dan tanda tangan plus tulisan pesan beliau.

Harus diakui, Malaysia dalam beberapa hal memang tampak lebih maju dibanding Indonesia, terutama dalam hal fasilitas dan pelayanan publik. Meskipun dalam bidang keilmuan dan kebebasan publik, kita jauh didepan mereka. Ada kejadian lucu, professor dari Malaysia yang memberi materi tentang komparasi pendidikan Islam terpadu di Asia tenggara,mengatakan dengan bangga bahwa Malaysia jauh didepan Indonesia untuk urusan menentukan awal ramadhan dan idul fitri. Beliau bilang, di Malaysia sudah kompak dalam urusan ini, sementara Indonesia masih saja berbeda-beda, sampai ada libur 5 hari untuk idul fitri, saking banyaknya hari raya masing-masing hehe. 

Kita yang dari Indonesia tentu saja tertawa geli, lha wong kita tahu kok, kompaknya Malaysia itu karena kuatnya kontrol pemerintah, sehingga tidak ada yang berani berbeda pendapat. “Indonesia sudah melewati fase itu, Prof,” bisikku geli. “Itu sih jaman Suharto dulu, dimana kita mesti ditakut-takuti pemerintah sehingga nurut saja tanpa berani melawan.” Untuk persoalan ini, Malaysia mesti belajar banyak dari Indonesia.

Kuala Lumpur, 3 Desember 2013
Twin Tower.. :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

September

September Kulipat mimpi Kukantongi mantra Lihat, tak ada lagi duka Lihat, rindu kita melanglang buana Ini September Saat kita segera berangkat Memula masa singkat, meski Menyimpan geletar gelap Dan sendu tasbih para malaikat Melukis gemerlap esok Merajut dunia Melibas prahara Tak usah bersedih Sedang kesedihan pun mulai bosan Jadi teman kecil kita Mari sulut semangat Biar berkilat semua karat Dan benderang semua pekat Untuk Bunga Kutulis puisi untukmu Agar terketuk segala pintu Dan terbuka segala rahasia Kita benar-benar berbeda Meski Waktu selalu saja cemburu Dengan diam yang kita bicarakan Dengan cerita yang kita bisukan Untuk Bunga Engkaulah penanda baru Pada setiap jejak yang kubuat Untuk memintal ruang waktu Meski jauh menjadi karib Meski koma menjelma titik Demi Waktu Demi Waktu Manusia selalu berada dalam kerugian Demi Waktu Manusia tempat segala kesalahan Demi Waktu Manusia-lah kekasi...

Hybrid Cyborg

Dari jendela bertirai krem, nampak jajaran apartemen mahasiswa blok 20-23. Aku sendiri tinggal di Blok 24, lantai 2. Sudah sebulan ternyata, aku menghuni kamar ini. Jejeran blok didepan, itu yang menjadi santap pandang sehari-hari. Disertai tingkah polah para penghuninya, dari lapangan basket, kantin, taman, shared room, dan tempat barbeque-an. Hidup sudah mulai terasa normal, meskipun kadang-kadang masih tetap kesulitan mengatur jadwal hidup. Setelah 2 minggu terakhir, workshop kami tentang pembuatan abstrak sudah selesai. Hasilnya sudah dikirim ke Jonathan, pegawai dan koordinator pengumpulan naskah di ARI. Workshop ini masih belum terlalu melelahkan, karena dulu kami sudah diminta mengirimkan sebelum berangkat ke singapura. Tinggal bimbingan dan koreksi dari Dr. Kay Mohlmann, pembimbing  academic writing  kami yang super baik, super sabar dan super bersahabat. Kami beruntung bisa dibimbing beliau, karena kata beliau sendiri, inilah tahun terakhir beliau tinggal di Sing...