Langsung ke konten utama

Balada Shalat

Hidup di Indonesia yang mayoritas Islam, memang menyenangkan untuk muslim sepertiku. Anda tidak perlu pergi jauh naik kereta api atau bis hanya untuk bisa jum'atan. Anda juga tidak perlu susah-susah untuk bangun sholat subuh, karena sekian speaker masjid akan membangunkan anda. Tapi tidak di Singapura, kawan. Masjid, mushola, apalagi suara azan berkumandang itu hampir tidak ada. Belum lagi perbedaan waktu yang padahal cuma berjarak 1 jam lebih cepat. Inilah cerita tentang sebuah penyesuaian budaya. Prinsip tentang ruang waktu yang benar-benar menentukan bagi hidup manusia untuk survive. :)

Waktu shalat disini lebih lambat sekitar sejam atau 2 jam dari waktu biasa di Indonesia bagian barat. Di Jogja, Jakarta, Jombang atau Cilacap, waktu shalat magrib kurang lebih pukul pukul jam 6, disini pukul 7. Subuh pukul 5, jadinya pukul 6 disini baru shalat. Semua dapat tambahan waktu sejam pokoknya. Yang sampai sekarang masih kurasa aneh, Jam 6 sore disini masih terang benderang. Asing sekali rasanya. Selain itu, aku yang biasa berbuka puasa jam 6, jelas terkejut badan ketika harus berbuka jam 7 malam. "Ini buka puasa kok ya pas Isyak!" batinku awal-awal dulu.

Tidak hanya waktu shalat yang berubah naik sejam, disini juga tidak terbiasa ada kran untuk wudhu. Parahnya, kami tidak boleh sembarangan membuat lantai basah karena air. Kalau ke toilet, hanya disediakan tissue untuk membersihkan najis. Ini agak menyulitkan buatku, karena pemakaian tissue sebenarnya membuatku sedikit ragu dengan tingkat kesuciannya. Walhasil, mau gak mau aku jadinya pragmatis. Kalau pas toiletnya ada tissue dan kran kecil dibawah, maka dengan senang hati aku memakai keduanya, tissue dulu, baru air. Kalau tidak ada air, ya sudah terpaksa pakai tissue saja. :)

Sebab tiadanya kran wudhu dan adanya larangan berbasah-basah ria, aku membiasakan diri untuk wudhu memakai shower kamar mandi. Itu karena satu-satunya air yang bisa dicucurkan tanpa harus jongkok, dan karena kamar mandi adalah tempat yang dibolehkan untuk berbasah-basahan. Profesor Kay, mentor kami di ARI juga menyarankan kami yang muslim untuk wudhu di shower terdekat musholla. Sayangnya, kami sampai sekarang belum menemukan kamar mandi itu, adanya hanya toilet. Ada kejadian lucu, teman yang merasa tidak bisa menemukan kran wudhu akhirnya nekat berwudu di wastafel! wkwk.. sampai kakinya diangkat bergantian ke wastafel. Repot sekali. Untung kami menemukan dua toilet yang ada kran air, lumayan bisa buat wudhu walaupun harus jongkok menghadap ke lubang toiletnya, dan membuat lantai basah. :)

Untuk sholat sehari-hari sebenarnya tidak masalah di apartemen kami, karena bisa sholat sendiri-sendiri di kamar dan mandi di shower blok kami masing-masing. Berbeda dengan jum'atan! sehingga kami harus mencari dan berburu masjid di sekitar apartemen yang ada. Sayangnya, tidak ada masjid di lokasi apartemen. Akhirnya, kami pun mesti keluar kampus dan mencari masjid yang terdekat.

Jum'at minggu lalu, kami shalat jum'at di masjid dekat Central Library, masih di sekitar lingkungan kampus. Jum'at kemarin, kami bertiga (Aku, mas salman dan Adrian) berencana ke masjid di China Town. Untuk itu, kami harus naik MRT ke Harbour Front, kemudian pindah jurusan ke China Town. Sayangnya waktu tidak mengijinkan kami kesana. Jam sudah menunjukkan pukul 1.30 lebih ketika kami sampai di Harbour Front. Jum'atan sendiri akan selesai jam 2. Dengan segera, Adrian bertanya pada petugas jaga stasiun yang menunjukkan letak masjid terdekat di Harbour Front.

Dengan melihat peta yang tertera di stasiun, kami pun keluar yang ternyata berada di basement Mall. Menyusuri pinggir jalan, kami melihat masjid yang parahnya sudah mulai shalat jum'atnya. Walhasil, kami pun berlari-lari, menerobos lampu merah (yang mungkin harusnya kena denda hehe, untung tidak!). Lumayanlah, kami masih bisa mendapatkan rakaat keduanya. Masjid ini masjid orang bugis atau Johor, terletak di Teluk Belangah, dekat pintu masuk dan menara pengawas pelabuhan. Mesjidnya sederhana, tapi terawat dan bersih. Sayang, kami tidak sempat mendengar khutbah jum'atnya.

Satu hal yang aku perhatikan dari 3 masjid (selain masjid Syi'ah) yang sudah aku singgahi disini, mereka semua tidak ada yang memakai AC sebagai pendinginnya. Semua memakai kipas angin biasa, yang lumayan banyak di tiap dinding dan tiang yang ada di masjid. Selain itu, ada monitor 29 inch yang dipakai untuk merelai gambar sang Khatib ketika berkhutbah, minimal 2 di kanan kiri serambi. Jadi, bayangkan saja anda jum'atan sambil mendengar gemuruh suara kipas angin, sambil memandangi khutbah via layar LED! :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

September

September Kulipat mimpi Kukantongi mantra Lihat, tak ada lagi duka Lihat, rindu kita melanglang buana Ini September Saat kita segera berangkat Memula masa singkat, meski Menyimpan geletar gelap Dan sendu tasbih para malaikat Melukis gemerlap esok Merajut dunia Melibas prahara Tak usah bersedih Sedang kesedihan pun mulai bosan Jadi teman kecil kita Mari sulut semangat Biar berkilat semua karat Dan benderang semua pekat Untuk Bunga Kutulis puisi untukmu Agar terketuk segala pintu Dan terbuka segala rahasia Kita benar-benar berbeda Meski Waktu selalu saja cemburu Dengan diam yang kita bicarakan Dengan cerita yang kita bisukan Untuk Bunga Engkaulah penanda baru Pada setiap jejak yang kubuat Untuk memintal ruang waktu Meski jauh menjadi karib Meski koma menjelma titik Demi Waktu Demi Waktu Manusia selalu berada dalam kerugian Demi Waktu Manusia tempat segala kesalahan Demi Waktu Manusia-lah kekasi...

Berotak Tekad, Berhati Malaikat; a Tribute to Undar Jombang

18 September 1965, tanggal kelahiran Undar Jombang. Sudah begitu tua, setua Gus Mujib, Neng Eyik dan Gus Lukman yang sampai sekarang masih menjadi penguasa-penguasa Undar, asyik mengangkangi “tahta kecil” mereka. Tapi Undar memang istimewa, biarpun dihantam krisis kepemimpinan sejak lama, sampai sekarang masih saja berdiri kukuh. Menantang langit, mengukir jaman. Undar selalu ada, tapi sedihnya, mungkin ia juga pelan-pelan menjadi tiada. Timbul tenggelam, mencari pegangan kesana kemari tanpa pertolongan siapapun. Bukan karena tidak ada yang menolong, tapi karena Undar sendiri yang menolaknya. Di stasiun Purwokerto, jam 6 pagi pada akhir Juli 2004, aku bersama seorang sahabat karib menaiki kereta Logawa jurusan Purwokerto – Surabaya. Tiket seharga 21 ribu selalu kupegang erat-erat. Ini perjalananku pertama kali yang jauh dari Cilacap, kota kelahiranku. Hari itu, aku dan temanku berangkat ke Jombang, untuk nyantri dan kuliah di Universitas Darul Ulum Jombang. Sejak melihat brosur ka...

Malaysia, the second

Mendarat di KLIA (Kuala Lumpur International Airport), segera saja mata kami semua disambut dengan jejeran pesawat Malaysia Airlines (MAS) dan Airasia, dua pesawat kebanggaan orang Malaysia. Sebelumnya, ketika bersiap-siap mendarat, hanya sawit dan sawit yang menjadi pandangan kami. Memang, Malaysia sedang bergiat memacu penanaman sawit, agar bisa menyaingi Indonesia, sang pemimpin nomer satu produksi sawit sedunia. Menjejakkan kaki di KLIA ini, adalah kesempatan keduaku menjejak negeri jiran ini. Mei atau Juni kemarin, aku sudah sempat masuk ke negara ini, meski hanya di Johor Bahru, negara bagian yang berbatasan langsung dengan Singapura. Artinya, Pasporku pun sudah dua kali di stempel oleh negara serumpun kita ini, hehe. Seperti sudah pernah kutulis, bandara internasional adalah wajah pertama yang akan menyambut anda di suatu negara. Ia bisa jadi cerminan baik dan buruknya pelayanan di sebuah negara. Pada kondisi ini, Indonesia mesti mengakui kualitas pelayanan yang lebih b...