Langsung ke konten utama

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu.

Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan.

Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, tetapi bagaimana ia merasa bahwa pernikahan yang ia jalani sekarang ini terasa membelenggunya, tidak memberikan kebebasan sebagaimana teman yang lanjut S2 dan masih single itu. Pada sisi lain, teman yang lanjut S2 ini juga memuji keberanian temannya untuk nikah muda dan jantan menghadapi realitas hidup. Jujur ia mengakui bahwa ia tidaklah seberani temannya itu, ia memilih untuk memantapkan diri, menunggu keberaniannya datang, menemukan momen yang tepat dan kemudian berani bertindak sebagaimana temannya itu, untuk menikah.

Nostalgia itu kemudian diakhiri dengan senyum arif dan canda kepuasan antara dua kawan yang lama tidak berjumpa itu. Perpisahan mereka berdua membuatku memberiku pengajaran penting, setiap manusia punya kesempatan yang bisa ia pilih menjadi jalan hidupnya. Banyak orang bilang, hidup adalah pilihan, tetapi sebenarnya kita mengerti bahwa diantara sekian pilihan itu berakar dari satu peluang saja. Mau menikah, mau kuliah, mau jadi orang baik, mau jadi penjahat, itu semua bergantung pada pilihan yang didasarkan pada kesempatan yang anda punya.

Tuhan menyediakan kesempatan-kesempatan itu. Ada hukum probabilitas yang menjadi konsekuensi, apakah anda akan mendapatkan itu atau tidak, apakah anda akan bahagia dengan itu atau tidak. Kita sering menyebut probabilitas itu sebagai resiko atau imbal balik dari pilihan kita itu. Lucunya, banyak orang yang kemudian berusaha menghindari resiko dengan tidak mengambil keputusan apapun. Menurut hemat saya, itu keputusan yang fatal. Diam dan tidak mengambil keputusan itu hakekatnya juga sebuah keputusan yang akan punya implikasi di belakang. Ini memang terlihat seperti hukum kausalitas, bahwa apapun keputusan dan pilihan anda, akan ada konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti.

Karena itu, bukan masalah apa yang menjadi pilihan, tapi seberapa besar keberanian dan tekad yang kita  punya untuk menjalaninya. Jika kita menyadari resiko-resiko itu semua sebagai hal yang rasional, maka sudah sepantasnya bagi kita untuk memperhitungkan baik-baik setiap pilihan yang akan kita ambil. Ada moralitas yang harus kita pertimbangkan, apakah ini akan menjadi sesuatu yang baik atau buruk, berguna atau tidak di masa depan.

Kesempatan adalah hak paten yang dipunyai manusia. "Kesempatan" memberikan kita pilihan-pilihan yang muncul sebagai konsekuensi nalar dan personal. Pilihan-pilihan itu memberikan konsekuensi logis untuk kehidupan kita. Seharusnya, tidak ada penyesalan, tidak ada apologi untuk semua yang sudah kita pilih. Karena semua itu berasal dari satu kata yang kita punya : Kesempatan...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...