Langsung ke konten utama

Watak Pengecut


Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari.


Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau.

Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau dikata. Jika memilih nomer 1, kita jelas-jelas terjebak pada solipsisme, suka menganggap diri lebih dan bagus segala-galanya, tanpa melihat kondisi objektif diri sendiri. Klaim bahwa bangsa kita ini sopan dan ramah rasanya hanya jadi mitos, hanya berlaku untuk segelintir orang. Kita cenderung sopan dan menghargai orang karena kita merasa diri kita tidak mampu menyamai orang tersebut dalam kelebihannya. Ini kesopanan yang membalut rasa kalah dan rasa minder belaka. Motto “Anda Sopan Kami Segan” ini menunjukkan dengan terang bahwa kesopanan kita membutuhkan prasyarat, anda di sopani dulu, baru anda akan mau bersopan-sopanan juga. Disini, perilaku sopan ini jelas-jelaslah berbau menyengat, tidak murni dari karakter kita sendiri.

Jika memilih nomer 2, sebenarnya agak masuk akal, meski ada kerancuan juga jika itu digolongkan pada sikap minder belaka. Tidak sesederhana itu. Sebuah contoh, ulama salafussolih bersepakat bahwa berjamaah di barisan depan adalah kewajiban, tidak boleh diberikan kepada yang lain. Jadi kita mesti rebutan. Tapi realitasnya, banyak diantara kita yang tetap tidak mau berada didepan dalam posisi berjamaah itu. Apa kita minder? Kalo iya, bagaimana dengan aturan hukum yang harus kita patuhi itu? Nah, seharusnya alasan kita tidak berani berada didepan bukan lagi sebuah keminderan, tapi pembangkangan. Sayangnya, pembangkangan ini kontraproduktif, sebab pembangkangan itu tidak untuk mendobrak aturan yang sudah merugikan atau menindas kita, tapi hanya demi kepentingan kita sendiri sebenarnya, dan karena ini terkait erat dengan alasan prilaku pada nomer 3.

Kita cenderung memilih dibelakang bukan karena kita sopan, bukan karena kita minder, tapi karena kita pengecut. Kita tidak berani mengambil risiko yang besar, beraninya hanya mengambil risiko yang lebih kecil. Mental seperti ini yang membuat kita hanya bisa dan mampu mengkritik, tanpa pernah mau dikritik, pengen sukses tapi takut gagal. Disini jadi jelas semuanya, jika kita mempunyai kekurangan, maka kita akan mudah mengkambing-hitamkan orang lain, menjelek-jelekkan orang lain, tanpa pernah mau berintrospeksi diri.

Statemen SARA Bang Haji: sebuah contoh
Contoh yang paling teranyar, kasus ceramah sholat taraweh yang ditenggarai berbau SARA oleh penyanyi dangdut favoritku, bang Haji Rhoma Irama, yang mengatakan bahwa orang muslim sudah seharusnya memilih pemimpin muslim “yang seiman”. Statemen ini menjadi berbau SARA, karena jelas-jelas statemen itu bisa diterjemahkan dengan mewajibkan semua muslim DKI Jakarta untuk memilih Foke-Nara di Pilkada putaran kedua nanti. Apalagi, bang Haji sendiri adalah salah satu juru kampanye pasangan petahana tersebut.

Saya lebih suka menyebut contoh diatas sebagai sebuah tragedi kepengecutan. Pengecut disini bermakna ketidakmauan untuk memahami realitas sehingga cenderung membenarkan diri sendiri tanpa pernah mau berintrospeksi. Tentu saja, bang Haji saya tahu bukanlah orang yang pengecut (seperti terlihat dalam perjuangan beliau menjadi seorang superstar). Yang menjadi soal disini adalah pertama, secara sosiologis, statemen beliau ini menunjukkan ketidakmampuan beliau untuk memahami ini nyata sekali jika dikontraskan dengan realitas yang jelas terpampang didepan mata. Sebuah contoh, Jokowi-Ahok sudah berhasil dan diakui membangun daerahnya masing-masing, khalayak ramai pun sudah memahami ini. Sementara Foke-Nara? Dimana bukti jelas bahwa mereka telah berhasil? Ataupun kalau sudah dianggap berhasil, bagaimana tingkat perbandingannya dengan keberhasilan Jokowi-Ahok? Kita sendiri tahu jawabannya.

Kedua, secara sosio-religious, ketidakpemahaman itu menutup erat tafsir pemahaman terhadap makna islam dan iman itu sendiri. Mengacu pendapat Nurcholis madjid, selama orang itu selaras dengan nilai-nilai besar yang dibawa islam, maka orang itu akan bisa dianggap islam. Pemaknaan islam dan iman itu sendiri kemudian menjadi inklusif, tidak sekedar pemahaman yang legal-formalistik belaka. Keislaman yang dipahami bang Haji ini cenderung tendensius, mengikuti pemahaman eksklusif yang menganggap diri sendiri benar, sementara orang lain salah. Disinilah paradoks muncul dengan gamblang, jika Foke-Nara benar, kenapa lebih mentereng prestasi Jokowi-Ahok dari beliau berdua itu? Kenapa Jakarta masih tetap semrawut, macet, banjir dan rusuh? Ada klaim-kalim teologis yang coba dijadikan alasan, tapi ia mentah ketika dibenturkan dengan realitas.

Epilog
Ada kontradiksi yang tidak sempat (atau tidak mau?) dilihat secara objektif disini. Kontradiksi-kontradiksi ini akan senantiasa muncul jika kita masih tetap saja pengecut untuk mengakui bahwa kita memang membutuhkan tamparan yang keras untuk lebih maju. Untuk mengurangi kadar kepengecutan ini, tentu kita harus berani membongkar semua kedok yang selama ini terlalu sering kita pakai untuk menatapi wajah kita sesungguhnya. Dalam kasus bang Haji, kedok teologis menjadi preferensi untuk menunjukkan (dan bahkan memerintahkan?) publik untuk mengikuti prefensi kita sendiri, meskipun secara realitas sosiologis, ini jelas-jelas kontradiktif. Tentu saja, masih banyak kedok-kedok yang kita punya, tinggal keberanian kita untuk jantan mengakui dan melepaskan itu. Percayalah, menjadi diri sendiri itu lebih menyenangkan dan menentramkan daripada harus terus menerus menunjukkan kepengecutan kita.

Salam. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

September

September Kulipat mimpi Kukantongi mantra Lihat, tak ada lagi duka Lihat, rindu kita melanglang buana Ini September Saat kita segera berangkat Memula masa singkat, meski Menyimpan geletar gelap Dan sendu tasbih para malaikat Melukis gemerlap esok Merajut dunia Melibas prahara Tak usah bersedih Sedang kesedihan pun mulai bosan Jadi teman kecil kita Mari sulut semangat Biar berkilat semua karat Dan benderang semua pekat Untuk Bunga Kutulis puisi untukmu Agar terketuk segala pintu Dan terbuka segala rahasia Kita benar-benar berbeda Meski Waktu selalu saja cemburu Dengan diam yang kita bicarakan Dengan cerita yang kita bisukan Untuk Bunga Engkaulah penanda baru Pada setiap jejak yang kubuat Untuk memintal ruang waktu Meski jauh menjadi karib Meski koma menjelma titik Demi Waktu Demi Waktu Manusia selalu berada dalam kerugian Demi Waktu Manusia tempat segala kesalahan Demi Waktu Manusia-lah kekasi...

Response Paper to Identity and the Politics of Scholarship in the Academic Study of Religion: Introduction (Academic Study of Religion )

Identity and the politics of scholarship explain the correlation between science and study of religion according to identity’s perspective. This correlation arises among the scholars of religion by facing at least two conditions: the first is facing the universal value of scientific knowledge; the second is facing the problem within their identity itself. The first correlation is facing universal value of scientific knowledge. Scientific knowledge as an official truth is based on the value of enlightenment, Reason. Reason is the essence of human being as universal value which exists within human life. The universal claim then bore the claim truth which only can be reached by scientific knowledge. The scientific knowledge has critics because its methodology excludes other form or aspect within its object of research. The historicity of every object of research is one of the earliest perspectives which criticize the universal value of scientific knowledge claims such as ahistoric and...

Malaysia, the second

Mendarat di KLIA (Kuala Lumpur International Airport), segera saja mata kami semua disambut dengan jejeran pesawat Malaysia Airlines (MAS) dan Airasia, dua pesawat kebanggaan orang Malaysia. Sebelumnya, ketika bersiap-siap mendarat, hanya sawit dan sawit yang menjadi pandangan kami. Memang, Malaysia sedang bergiat memacu penanaman sawit, agar bisa menyaingi Indonesia, sang pemimpin nomer satu produksi sawit sedunia. Menjejakkan kaki di KLIA ini, adalah kesempatan keduaku menjejak negeri jiran ini. Mei atau Juni kemarin, aku sudah sempat masuk ke negara ini, meski hanya di Johor Bahru, negara bagian yang berbatasan langsung dengan Singapura. Artinya, Pasporku pun sudah dua kali di stempel oleh negara serumpun kita ini, hehe. Seperti sudah pernah kutulis, bandara internasional adalah wajah pertama yang akan menyambut anda di suatu negara. Ia bisa jadi cerminan baik dan buruknya pelayanan di sebuah negara. Pada kondisi ini, Indonesia mesti mengakui kualitas pelayanan yang lebih b...