Langsung ke konten utama

Berotak Tekad, Berhati Malaikat; a Tribute to Undar Jombang

18 September 1965, tanggal kelahiran Undar Jombang. Sudah begitu tua, setua Gus Mujib, Neng Eyik dan Gus Lukman yang sampai sekarang masih menjadi penguasa-penguasa Undar, asyik mengangkangi “tahta kecil” mereka. Tapi Undar memang istimewa, biarpun dihantam krisis kepemimpinan sejak lama, sampai sekarang masih saja berdiri kukuh. Menantang langit, mengukir jaman. Undar selalu ada, tapi sedihnya, mungkin ia juga pelan-pelan menjadi tiada. Timbul tenggelam, mencari pegangan kesana kemari tanpa pertolongan siapapun. Bukan karena tidak ada yang menolong, tapi karena Undar sendiri yang menolaknya.

Di stasiun Purwokerto, jam 6 pagi pada akhir Juli 2004, aku bersama seorang sahabat karib menaiki kereta Logawa jurusan Purwokerto – Surabaya. Tiket seharga 21 ribu selalu kupegang erat-erat. Ini perjalananku pertama kali yang jauh dari Cilacap, kota kelahiranku. Hari itu, aku dan temanku berangkat ke Jombang, untuk nyantri dan kuliah di Universitas Darul Ulum Jombang. Sejak melihat brosur kampus yang punya rektor super hebat bernama DR. KH. Abdurrahman Wahid terpajang di pondok dan sekolahku, niat kami berdua sudah bulat. Kami akan meneruskan kuliah di Jombang. Menjadi mahasiswa, ingin mengalami gegap dan gempitanya demonstrasi dan berpeluh keringat menjadi seorang akademia. Kami memintal benang mimpi-mimpi itu dengan semangat ’45.

Sayang, mimpi indah tidak selamanya pas dengan kenyataan. Kondisi Undar yang terbelah menjadi dua rektorat menjadi berita penyambut yang benar-benar mematahkan semangat. Kami datang, bukan untuk menyaksikan konflik kekanak-kanakan dalam satu keluarga yang menjadi panutan banyak orang. Kami ingin belajar, ikut berproses dan mengecap kebesaran Undar yang sudah sering didengung-dengungkan orang. Akan tetapi, meski banyak orang yang meminta kami berdua untuk tidak mendaftar di Undar, kami tetap bergeming. Aku tetap daftar di Undar dengan alasan, pertama, hanya Undar satu-satunya kampus di Jombang yang ada FISIPOL, jurusan incaranku. Kedua, kami adalah penggemar berat Gus Dur, yang kebetulan menjadi rektor Undar versi yayasan Gus Lukman saat itu. Jadilah, aku daftar di FISIP Sosiologi/Sosiatri, dan teman karibku di FE Manajemen.

Tidak bisa dibantah, konflik dualisme kepemimpinan di Undar memang menurunkan mutu dan kualitas Undar sampai titik yang paling rendah. Perkuliahan, sebagai jantung kaderisasi dan transfer kulaitas pendidikan berjalan ala kadarnya, absensi dan tugas dosen yang tidak terstruktur, tidak adanya silabus dan buku diktat yang benar-benar up to date. KKN dan KKL sebagai inti dari pengabdian masyarakat juga berjalan sangat memprihatinkan. Tidak peduli cuma 10 hari atau bahkan KKN hanya 5 hari, yang penting sekedar ada. Apalagi pada sisi penelitian, kampus Undar tercintaku sudah tenggelam tanpa jejak. Satu-satunya buku terbitan dosen yang sempat aku lihat dan baca di perpus cuma satu, penelitian tentang MOAG (Metode Otak-Atik Gathuk). Definisinya dalam satu kalimat yang singkat, Undarku benar-benar amburadul.

Tapi, amburadulnya Undar juga menjadi blessing in disguise (berkah tersembunyi) bagiku. Aku menjadi punya begitu banyak waktu untuk aktif di organisasi ekstra, UKM dan BEM. Aku jarang kuliah, sebab doktrin dari dosen kami di FISIPOL adalah; Mahasiswa SOSPOL harus aktif berorganisasi, tidak perlu rajin kuliah (hehe). Kami tidak wajib kuliah, tapi kami wajib jadi aktivis. Karena itulah, Undar bagiku adalah kampus kedua, sementara Organisasi kemahasiswaan itulah kampus pertamaku. Di organisasi kami biasa berdiskusi, bedah buku, demonstrasi, pelatihan, seminar dan membangun jaringan lintas mahasiswa se Indonesia, hal yang tidak akan dijumpai di ruang kelas. Bagiku, Mahasiswa adalah sebuah status sosial di masyarakat yang membuatku leluasa kesana kemari tanpa ada tuntutan untuk kerja atau balik kampong kerumah masing-masing untuk mengabdi. Mahasiswa, adalah status kebebasan untuk berekspresi dan proses menemukan diri sendiri. Sementara kampus hanyalah penyedia status dan pemberi stempel SARJANA  ketika kami sudah puas “bermain-main” di ranah pergerakan mahasiswa.

Masih selalu terngiang, semboyan Undar yang menginginkan mahasiswanya menjadi manusia yang “Berotak London, Berdada Masjidil Haram”, idealitas manusia yang cerdas dan relijius, berotak cemerlang tapi juga bermoral tinggi. Tidak hanya pintar berdebat, tapi juga mau kerja bareng. Tidak sekadar retorika membius nan menggelegar, tapi juga teladan dan kepemimpinan yang benar. Sayang seribu sayang, dengan mengalami dan melihat sendiri konflik dualisme Undar, membuat kita mati rasa. Konflik antar keluarga, antara Ibu dan anak, saudara kandung dan saudara tiri, keponakan dan paman. Pasang surutnya masalah dan silang sengkarut kepentingan pribadi yang diatas-namakan kepentingan bersama. Pada tahap ini, Undar dengan pijakan Trisula agung bernama Kampus, Pesantren dan Tarekat,  gagal memberi contoh nyata dari idealisme dan ajaran ideologisnya pada anak-anaknya, para Mahasiswa.

Kegagalan itu, ternyata masih berlanjut sampai sekarang. 18 September 2013, aku mendengar sayup mayup berita Undar yang kembali mulai bergairah dengan ramainya mahasiswa dan menggeliatnya dunia akademik kampus, tapi masih dengan dualisme konflik yang tidak kunjung selesai. Pembedaan Undar Depan dan Undar Belakang, hanya berganti menjadi Undar dan Undar Trisula. Berganti baju, tapi masih dengan gaya dan fashion yang sama dengan jamanku dulu. Ada keprihatinan yang mencuat, dan doa yang menggeliat. Semoga, Undar-ku bisa kembali bersatu dan menapak ulang kejayaannya, seperti yang selalu didongeng-dongengkan oleh masyarakat Jombang di sekitar kampus.

Aku selalu berkata, setengah bercanda setengah serius kepada adik-adik angkatanku di Jombang. “Hanya mahasiswa gila yang mau kuliah di Undar” kataku. Secara logis, Undar tidak memberi mereka kemajuan akademik, sejak para dosennya sendiri kesulitan mengembangkan diri dan karir akademiknya. Akan tetapi, selalu ada mutiara yang terpendam, selalu ada manusia-manusia hebat, ada mahasiswa yang optimis dan kritis, ada dosen yang ikhlas dan bersemangat mengajar, dan ada pegawai kampus yang seperti mewakafkan diri disana. Itulah kekuatan Undar, yang masih membuatnya bertahan ditengah-tengah gempuran ijazah aspal, kelas jauh dan tilep-menilep dana kampus. Orang-orang itu, yang semoga nanti bisa menjadi pionir kemajuan Undar di masa depan. Mereka yang bersemboyan, Berotak Tekad, Berdada Malaikat.

Dirgahayu Undarku yang ke 48! Semoga luka-mu cepat sembuh. Amien. :)

Jogjakarta, 19 September 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

September

September Kulipat mimpi Kukantongi mantra Lihat, tak ada lagi duka Lihat, rindu kita melanglang buana Ini September Saat kita segera berangkat Memula masa singkat, meski Menyimpan geletar gelap Dan sendu tasbih para malaikat Melukis gemerlap esok Merajut dunia Melibas prahara Tak usah bersedih Sedang kesedihan pun mulai bosan Jadi teman kecil kita Mari sulut semangat Biar berkilat semua karat Dan benderang semua pekat Untuk Bunga Kutulis puisi untukmu Agar terketuk segala pintu Dan terbuka segala rahasia Kita benar-benar berbeda Meski Waktu selalu saja cemburu Dengan diam yang kita bicarakan Dengan cerita yang kita bisukan Untuk Bunga Engkaulah penanda baru Pada setiap jejak yang kubuat Untuk memintal ruang waktu Meski jauh menjadi karib Meski koma menjelma titik Demi Waktu Demi Waktu Manusia selalu berada dalam kerugian Demi Waktu Manusia tempat segala kesalahan Demi Waktu Manusia-lah kekasi...

Response Paper to Identity and the Politics of Scholarship in the Academic Study of Religion: Introduction (Academic Study of Religion )

Identity and the politics of scholarship explain the correlation between science and study of religion according to identity’s perspective. This correlation arises among the scholars of religion by facing at least two conditions: the first is facing the universal value of scientific knowledge; the second is facing the problem within their identity itself. The first correlation is facing universal value of scientific knowledge. Scientific knowledge as an official truth is based on the value of enlightenment, Reason. Reason is the essence of human being as universal value which exists within human life. The universal claim then bore the claim truth which only can be reached by scientific knowledge. The scientific knowledge has critics because its methodology excludes other form or aspect within its object of research. The historicity of every object of research is one of the earliest perspectives which criticize the universal value of scientific knowledge claims such as ahistoric and...

Malaysia, the second

Mendarat di KLIA (Kuala Lumpur International Airport), segera saja mata kami semua disambut dengan jejeran pesawat Malaysia Airlines (MAS) dan Airasia, dua pesawat kebanggaan orang Malaysia. Sebelumnya, ketika bersiap-siap mendarat, hanya sawit dan sawit yang menjadi pandangan kami. Memang, Malaysia sedang bergiat memacu penanaman sawit, agar bisa menyaingi Indonesia, sang pemimpin nomer satu produksi sawit sedunia. Menjejakkan kaki di KLIA ini, adalah kesempatan keduaku menjejak negeri jiran ini. Mei atau Juni kemarin, aku sudah sempat masuk ke negara ini, meski hanya di Johor Bahru, negara bagian yang berbatasan langsung dengan Singapura. Artinya, Pasporku pun sudah dua kali di stempel oleh negara serumpun kita ini, hehe. Seperti sudah pernah kutulis, bandara internasional adalah wajah pertama yang akan menyambut anda di suatu negara. Ia bisa jadi cerminan baik dan buruknya pelayanan di sebuah negara. Pada kondisi ini, Indonesia mesti mengakui kualitas pelayanan yang lebih b...