Langsung ke konten utama

Kegagalan itu Menyedihkan

Orang bilang, “Kegagalan adalah kemenangan yang tertunda”. Itu benar. Akan tetapi, hari-hari ini aku lebih suka mengatakan, “Kegagalan itu benar-benar menyedihkan”.

Ngaji ba’da subuh tadi, aku memutuskan untuk memberi tahu mereka langsung. Bahwa mungkin dalam waktu yang tidak lama, aku tidak akan menjadi guru kelas mereka lagi. Aku akan mundur dari tugas mengajarku di pondok ini. Membiarkan mereka mendapat guru yang lebih cocok buat mereka. Guru yang bisa membuat mereka lebih mudah paham dalam mencerna pelajaran. Guru yang bisa menginspirasi mereka untuk selalu bersemangat menantang kerasnya masa depan.

Kata mundur itu terucap, sejak akhir-akhir ini aku menyadari, para santri di kelasku nampak kepayahan dalam mengikuti pelajaran. Nampaknya mereka sulit sekali untuk mencerna dan memahami pelajaran yang aku ajar selama ini. Nampaknya, semangat dan gairah mereka untuk belajar, menghafal dan mengulangi pelajaran di kamar mereka masing-masing masih kurang tinggi. Indikasinya, ketika ditanya ulang tentang materi mereka yang sebelumnya(rehearsal), mereka kesulitan menjawabnya dengan benar dan tepat.

Aku mengatakan kepada mereka, itu bukan kesalahan mereka. Aku percaya, setiap santri/murid itu cerdas, mempunyai cara yang unik untuk mengatasi kelemahan masing-masing dalam mengikuti pelajaran. Bisa dimaklumi juga, kelemahan itu karena energi mereka sudah begitu terforsir dengan seabreg hafalan, tugas belajar, PR sekolah, dan belum lagi masalah hidup sehari-hari mereka. Dengan semua kondisi itu, mengharapkan mereka, para santri, untuk cepat paham dan menyerap ilmu pastinya terlalu berlebihan. Tidak ada santri/murid yang bodoh, karena mereka unik dan mempunyai kelebihan mereka masing-masing. Tugas guru untuk menemukan dan mengembangkan keunikan dan kecerdasan itu agar menjadi pribadi yang benar-benar hebat di masa depan.

Tujuan pengajaran adalah untuk mencerdaskan anak didik. Jika itu gagal dipenuhi, tanggung jawab para guru untuk berintrospeksi dan menimbang diri sendiri. Artinya, kalau para santri tidak  bisa memahami dan menghafal dengan baik, itu salah gurunya, bukan muridnya. Guru, adalah teman yang seharusnya bisa menyemangati mereka untuk terus maju dan bergairah dalam belajar pada semua keadaan. Guru, adalah rekan yang seharusnya memandu mereka untuk mencapai keberhasilan belajar.

Pada titik ini, aku sungguh merasa kecewa pada diri sendiri. Melihat kesulitan yang mereka dapatkan, kesalahan mutlak ada ditanganku sebagai seorang guru dan pamong. Itu artinya, metode-metode ajar yang aku terapkan pada mereka terbukti gagal total. Semangat dan inspirasi yang setiap saat coba kupompakan juga mandul. Aku benar-benar mengalami jalan buntu, tidak tahu lagi harus berbuat apa.

Maka, dengan berat kukatakan pada mereka, jika kondisinya tetap seperti ini, maka aku akan berhenti mengajar mereka. Aku terbukti gagal total. Tidak ada lagi yang bisa dilanjutkan dari proses yang tidak menjanjikan seperti ini. Secepatnya, mereka butuh profil guru lain yang bisa membuat mereka bergairah dalam belajar dan cepat paham dengan materi. Seorang guru ideal yang bisa menginspirasi mereka dan mencerdaskan mereka.

Maka, kesedihan dan kekecewaaanku hari ini bukanlah karena ketidak-mampuan para santri, tapi lebih karena kegagalanku untuk menjadi guru yang terbaik buat mereka. Atau lebih buruk lagi, karena aku memang benar-benar tidak pantas menjadi seorang guru. Rasanya, terlalu sulit bagiku untuk bisa membuat mereka bersemangat raksasa ketika belajar, optimis yang menggelegak ketika menghafal dan sabar yang menenangkan ketika mereka mengulangi pelajaran. Aku tidak masuk kriteria guru seperti itu.

Padahal, aku suka sekali mengajar. Berdiri atau duduk didepan kelas, berbagi sedikit ilmu yang kupunya dan bercerita tentang masa lalu, masa kini dan masa depan bersama mereka. Rasanya menyenangkan sekali ketika berusaha membuat untuk mereka terinspirasi dan bersemangat mengejar mimpi-mimpi mereka. Aku menikmati itu, aku menyenangi.

Maka apa lagi yang bisa kuperbuat selain mundur dan memberi kesempatan pada para santri untuk mendapat guru yang lebih baik lagi? itu mungkin hal terakhir yang bisa kuberikan pada mereka. Suka mengajar saja bukanlah satu-satunya beka, masih banyak faktor lain yang menentukan keberhasilan belajar para santri. Harus kuakui, aku gagal dalam mengajar mereka. Yang lebih menyedihkan lagi, mungkin aku memang tidak bisa mengajar.

Yang terbaik untuk sementara ini, aku harus menarik diri dari dunia pengajaran ini. Mungkin, memang sudah waktunya untukku kembali sepenuhnya konsentrasi untuk menekuni hafalan ulang Qur’anku dan persiapan diri untuk mengejar beasiswa kuliah ke luar negeri. Merubah diri menjadi manusia baru. Agar pada suatu hari nanti, aku mungkin bisa kembali berdiri atau duduk didepan mereka, bercerita dan berbagi inspirasi bersama mereka semua.

Mlangi, 26 September 2013
Untuk kegagalan dan kesedihan yang tak lelah menjadi teman karib.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

September

September Kulipat mimpi Kukantongi mantra Lihat, tak ada lagi duka Lihat, rindu kita melanglang buana Ini September Saat kita segera berangkat Memula masa singkat, meski Menyimpan geletar gelap Dan sendu tasbih para malaikat Melukis gemerlap esok Merajut dunia Melibas prahara Tak usah bersedih Sedang kesedihan pun mulai bosan Jadi teman kecil kita Mari sulut semangat Biar berkilat semua karat Dan benderang semua pekat Untuk Bunga Kutulis puisi untukmu Agar terketuk segala pintu Dan terbuka segala rahasia Kita benar-benar berbeda Meski Waktu selalu saja cemburu Dengan diam yang kita bicarakan Dengan cerita yang kita bisukan Untuk Bunga Engkaulah penanda baru Pada setiap jejak yang kubuat Untuk memintal ruang waktu Meski jauh menjadi karib Meski koma menjelma titik Demi Waktu Demi Waktu Manusia selalu berada dalam kerugian Demi Waktu Manusia tempat segala kesalahan Demi Waktu Manusia-lah kekasi...

Berotak Tekad, Berhati Malaikat; a Tribute to Undar Jombang

18 September 1965, tanggal kelahiran Undar Jombang. Sudah begitu tua, setua Gus Mujib, Neng Eyik dan Gus Lukman yang sampai sekarang masih menjadi penguasa-penguasa Undar, asyik mengangkangi “tahta kecil” mereka. Tapi Undar memang istimewa, biarpun dihantam krisis kepemimpinan sejak lama, sampai sekarang masih saja berdiri kukuh. Menantang langit, mengukir jaman. Undar selalu ada, tapi sedihnya, mungkin ia juga pelan-pelan menjadi tiada. Timbul tenggelam, mencari pegangan kesana kemari tanpa pertolongan siapapun. Bukan karena tidak ada yang menolong, tapi karena Undar sendiri yang menolaknya. Di stasiun Purwokerto, jam 6 pagi pada akhir Juli 2004, aku bersama seorang sahabat karib menaiki kereta Logawa jurusan Purwokerto – Surabaya. Tiket seharga 21 ribu selalu kupegang erat-erat. Ini perjalananku pertama kali yang jauh dari Cilacap, kota kelahiranku. Hari itu, aku dan temanku berangkat ke Jombang, untuk nyantri dan kuliah di Universitas Darul Ulum Jombang. Sejak melihat brosur ka...

The Toughest Week

I would genuinely say that this week is one of the hardest. Problems visit like a flood, not giving me some time to breathe. However, I fortunately feel okay, considering it as a process that can make me stronger. First, my boss decided to cut off my salary this morning because of giving the batiks that I should make into office's uniform into my friend from Philippine. I did it because I felt bad to invite him to my pesantren without handing over such souvenir. I thought that I can buy it another batiks which has similar pattern (kawung) at Beringharjo market. However, my boss had different view and the result is that he punished me by cutting my salary as a substitute to price of batiks he provided to me. It is rather funny I guess, but I will not make a mess with that small problem. I should fully accept it as a risk when I hand my office's gift into other. Second, I failed to secure some money to pay rent for the house. Therefore, I turn up into the last choice to ...