Dari jendela bertirai krem, nampak jajaran apartemen mahasiswa blok 20-23. Aku sendiri tinggal di Blok 24, lantai 2. Sudah sebulan ternyata, aku menghuni kamar ini. Jejeran blok didepan, itu yang menjadi santap pandang sehari-hari. Disertai tingkah polah para penghuninya, dari lapangan basket, kantin, taman, shared room, dan tempat barbeque-an. Hidup sudah mulai terasa normal, meskipun kadang-kadang masih tetap kesulitan mengatur jadwal hidup.
Setelah 2 minggu terakhir, workshop kami tentang pembuatan abstrak sudah selesai. Hasilnya sudah dikirim ke Jonathan, pegawai dan koordinator pengumpulan naskah di ARI. Workshop ini masih belum terlalu melelahkan, karena dulu kami sudah diminta mengirimkan sebelum berangkat ke singapura. Tinggal bimbingan dan koreksi dari Dr. Kay Mohlmann, pembimbing academic writing kami yang super baik, super sabar dan super bersahabat. Kami beruntung bisa dibimbing beliau, karena kata beliau sendiri, inilah tahun terakhir beliau tinggal di Singapura. Sehabis program, beliau akan langsung pindah ke Langkawi, Malaysia dan bekerja disana.
Selain memang sudah lama di Singapura, diatas 15 tahun kalau tidak salah, Dr. Kay ternyata mengalami semacam kejenuhan yang bisa kami tangkap dari pendapatnya tentang Singapura. Beliau banyak bercerita tentang perubahan cepat yang menjadi tren negeri ini, dalam hal pembangunan hunian dan lain-lain yang tak pernah berhenti. Tentang perkembangan politik dan sosiologis yang mulai menerpa. Tentang protes buruh dan menguatnya identitas singapura pribumi. Dan juga tentang lingkungan yang semakin tidak membuat nyaman. Intinya, Dr. Kay sudah menyadari bahwa Singapura memang telah berubah cepat. Akan tetapi, perubahan itu tidaklah sesuai dengan gambarannya, sehingga beliau memutuskan untuk pergi. Menemukan lingkungan yang bisa membuatnya nyaman dan tenteram di Langkawi sana.
Dr. Kay memang tidak salah. Singapura berubah semakin cepat, dalam semua bidang. Seorang fellows ARI yang sudah terbiasa ke Eropa dan Amerika mengatakan, bahkan Singapura lebih teratur dan tertata daripada di Eropa. MRT, Bus SBS, SMRT dan segala hal yang berbau otomatis dan penuh dengan kerja-kerja mesin. Kita sudah manunggal dengan mesin itu sendiri. Jadi ingat tentang mata kuliah tentang Religion and Environment dulu, bahwa kita sudah bukan manusia yang berorientasi alam lagi, tapi berorientasi mesin. Segala hal dalam hidup kita dikendalikan oleh mesin. Dan tanpa disadari, kita telah bermutasi. Kita sudah menjadi cyborg, manusia yang terbuat dan dikendalikan sepenuhnya dengan mesin. Kita hidup dalam dunia yang layak disebut, Cyborgism.
Mungkin di Indonesia, Cyborgism masih belum begitu terasa. Tapi ketika anda di barat, semua itu nampak benar, apa adanya. Dalam titik ini, Singapura adalah contoh terbaik untuk gaya hidup kebaratan itu. Disini serba mesin, dari mulai pintu otomatis sampai transponder, dari beli Coca-cola sampai tiket pesawat, dari membilas air seni sampai menyiram taman, semua dilakukan dengan mesin, atau oleh mesin. Semua serba mesin, serba otomatis.
Jika semua sudah dilakukan oleh mesin, tentu manusia makin teralienasi dari hidup itu sendiri. Manusia hanya memburu rente, memikirkan diri sendiri dan menyenangkan diri sendiri. Kata kunci disini adalah kedirian alias selfishness. Harus diakui, inilah problem paling mendasar yang mungkin ditakuti Dr. Kay, yang sudah diprediksi oleh Marx dahulu. Kesendirian membuat kita teralienasi, terasing dari semua yang ada dilingkungan sekitar. Alangkah ngerinya, alangkah membosankannya. Hidup tidak lagi untuk hidup, tapi untuk sibuk dan sibuk sendiri, bukan untuk sesiapapun yang lain, dan bahkan kita sendiri tak tahu untuk apa itu semua.
Lihatlah, selama sebulan tinggal di apartemen mahasiswa yang ribuan penghuninya, kami hanya bercakap dan ber-say hello dengan orang yang kita kenal. Semua langkah bergegas, memburu dan diburu. Jikapun ada waktu untuk bersenang-senang, itulah week end, itu pun terbatas bagi yang punya uang. Kalo tidak, silahkan mendekam sendiri di kamar. Kesendirian sudah menjadi norma. Baik dan buruknya tentu sudah menjadi konsekuensi. Kadang, aku sendiri merasa senang tak ada yang membuatku repot untuk berbasa basi, menyapa orang, berbicara yang tak penting. Hidup sendiri itu kadang menyenangkan, tapi juga penuh keterasingan. Kita ini homo socius, manusia yang tidak bisa hidup sendiri. Fitrah yang tidak mungkin kita tinggalkan. Ketika itu kita tinggalkan, maka keterasinganlah imbas logisnya.
Tetapi, selalu ada anomali untuk itu semua. Tidak semua fenomena itu seragam dan bisa dipukulkan rata pada tiap-tiap orang, kelompok, maupun tempat dan kejadian. Aku mengalaminya sendiri dulu, ketika sedang melintas keluar dari stasiun MRT Tampines, yang sudah dekat airport Changi. Seorang bapak, mencolekku dari belakang. Mengangsurkan uang 2 dollar. “It's yours", katanya pendek. Aku memeriksa saku belakang celana, memang ada uang beberapa dollar yang kuselipkan disana. Ada satu yang jatuh rupanya. Bapak itu berlalu bahkan sebelum sempat menerima ucapan dan basa-basi terima kasihku. Ternyata, masih ada manusia yang mau peduli dengan orang lain disini, walaupun hanya uang 2 dollar yang jatuh, ditempat ramai pula.
Kita, benar-benar Cyborg yang hibrid, bukan?
Komentar
Posting Komentar
Thanks for your comment. God bless you always. :)