Langsung ke konten utama

Response paper to Interfaith Peacebuilding (Peace and Violence in Religion )


Interfaith peacebuilding is possible everywhere, but it will be effective only with making a link between religious teaching about peace and locality such as value, history and culture for reaching the core aim: free from physical and psychological oppression.
Making a link between religious teaching and locality is tricky. The basic need of this effort is how to dig our depth understanding about peace not exclusively only for their adherent, but also inclusively for broader community from different religion, culture or tribe. After that, we can make a bridge to connect every religion for committing peace as their daily activity. The locality plays important role in this phase because the goal peacebuilding always depends on the situation and problem there. The locality drives how interfaith peacebuilding should be directed, what are the areas they can solve and finally how to make better life in that area.
Interfaith peacebuilding in Papua and Kaduna, Nigeria gives the clear explanation about it. The first effort is how religious teaching can be seen as peace teaching not only for their followers but also for whole people in the world with different religion, races or tribe. In Papua, Christian defines peace as divine call; Islam gives the concept of Islam rahmatan lil ‘alamien, which embraces all of people with same or different religion; Hindu believes that peace is a root of every human life of happiness. In Kaduna, both of Muslim and Christian leader finally recognized that they have a call for making peace on their own land after meeting together at State House.
After making one understanding about peace, the real challenge has existed in front of them from locality side. This locality challenge contains theological, economical and socio-political treatments. The first, theological treatments arose because actors who concern for interfaith peacebuilding must face the reality that not all of their adherents are ready for interfaith peacebuilding. It is an internal effort how to convince their brother and sister by theological reason to support and be active in peacebuilding together with others from different religion.
The second, economical challenge exists when their institution has no money or support for their effort. Peacebuilding needs many supporting system such as money and facilities for funding and running their daily activities. The problem in Kaduna, Nigeria is so clear that they need many supports from others, including from state or overseas institutions. There is no doubt that the save condition from this treatments will guarantee and increase the power of their effort.
The third, socio and political treatments rise as rational consequences for every peacebuilding’s effort. The aim for interfaith peacebuilding is not only a condition which is absence from violence, but also free from physical and psychological oppression. It is more political when they have to decide their position vis a vis state. According the problem in Papua, the violence is not only between each religion, but also between people and state. Many policies from state discriminate and marginalize the indigenous Papuan people. It affects many socio and political problems. Those conditions require the alignments of interfaith peacebuilding actor to the society without being trapped into political issue such as the independence of Papua.
 Interfaith peacebuilding has a bright future as a powerful group for making peace wherever and whenever. It will be successful when they can bridge the internal understanding about their religious teaching as one understanding, and also capable to connect their movement with locality sides they have.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...