Langsung ke konten utama

Response paper to Interpretation of Culture (Theories of Religion and Society )


The most interesting explanation from Geertz is about Thick Description. It is a way to depict in-depth, an approach to understand, interpret, and explain (not merely observed) phenomena, events, ideas, social customs or anything (religion, politics, etc.) that prioritizes the depth data from the various aspects of the phenomenon, which are often bizarre, irregular, and not explicit as much as possible to understand the objects that are not superficial and shallow.
 Based on that, Geertz defines culture as a system of meaning. One of his concepts is about religion. The concept of religion is not merely understood as a system of divinity / theology, but as an embodiment of the cultural system. According to him, religion is a system of symbols that make up the feelings and desires in man, the conception of governance that has a nuance of real existence, so the feelings that seem realistic.
 Geertz has given many donations for understanding the relationship between religion and culture, especially in Java. Although many critics have been directed to his definition about religion and culture, no doubt that he is the most famous anthropologist who will be a reference for many researches in Java.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...

Balada Shalat

Hidup di Indonesia yang mayoritas Islam, memang menyenangkan untuk muslim sepertiku. Anda tidak perlu pergi jauh naik kereta api atau bis hanya untuk bisa jum'atan. Anda juga tidak perlu susah-susah untuk bangun sholat subuh, karena sekian speaker masjid akan membangunkan anda. Tapi tidak di Singapura, kawan. Masjid, mushola, apalagi suara azan berkumandang itu hampir tidak ada. Belum lagi perbedaan waktu yang padahal cuma berjarak 1 jam lebih cepat. Inilah cerita tentang sebuah penyesuaian budaya. Prinsip tentang ruang waktu yang benar-benar menentukan bagi hidup manusia untuk survive. :) Waktu shalat disini lebih lambat sekitar sejam atau 2 jam dari waktu biasa di Indonesia bagian barat. Di Jogja, Jakarta, Jombang atau Cilacap, waktu shalat magrib kurang lebih pukul pukul jam 6, disini pukul 7. Subuh pukul 5, jadinya pukul 6 disini baru shalat. Semua dapat tambahan waktu sejam pokoknya. Yang sampai sekarang masih kurasa aneh, Jam 6 sore disini masih terang benderang. Asing sekali...