Langsung ke konten utama

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar*

31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an.

NU sebagai sebuah pengalaman pribadi
Ada sebuah kesepakatan dalam diri saya yang mengatakan bahwa NU itu berbeda sebagai sebuah organisasi dan sebagai sebuah budaya hidup manusia. Dua hal ini berangkat dari pengalaman pribadi yang saya kira tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh kebanyakan orang. Ini jelas sekali terlihat dalam lingkaran hidup siklus yang saya alami selama ini. Bayangkan, saya baru mengenal NU secara agak “kaffah” semenjak saya aktif di PMII Jombang. Itu berarti, saya membutuhkan waktu kurang lebih 19 tahun untuk kemudian dengan bangga mengatakan : well, I am NU. Walaupun sejak kecil saya dididik dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, tapi harus jujur diakui bahwa saya tidak pernah merasa terikat apapun dengan NU, kecuali karena Pak Kyai saya telah menjadi Ketua Tanfidziyah kabupaten (yang itupun saya ketahui karena setiap hari Pak Kyai saya ini selalu menggunakan mobil dinas bertuliskan PCNU Kabupaten saya).
Ketika aktif dan terjun dalam PMII itulah baru kemudian saya mengetahui bahwa sejarah NU adalah seperti ini dan seperti itu. Dari situ kemudian saya membaca dan berdiskusi dengan orang-orang disekeliling yang membantu saya untuk mengidentifikasi secara lebih jelas kalau saya benar-benar orang NU. Akumulasi dari usaha seperti yang kemudian menjadikan saya mantap untuk mengatakan : I am NU. Proses ini tentu tidaklah homogen, artinya kemantapan menjadi NU itu berangkat tidak hanya dari satu pemicu. Banyak hal yang menjadi referensi saya untuk memutuskan itu.

Pertama, lingkungan keluarga. Seumur hidup saya sampai sekarang, Bapak dan Ibu saya tidak pernah bilang bahwa mereka NU. Tetapi kemudian saya berusaha menganalisis dari keseharian yang beliau berdua lakukan. Budaya keseharian itu kemudian saya naikkan levelnya dalam struktur yang lebih tinggi semacam institusi pendidikan dan kemasyarakatan. Kesimpulan saya mengatakan bahwa beliau berdua memang NU asli, meskipun saya yakin beliau berdua kurang begitu familiar dengan apa itu Nahdlatul wathon, Tasywirul afkar, Badan Otonom, Firqoh Nahdliyyah dan lain sebagainya. Kekurang tahuan itu menjadi maklum mengingat orang desa memang cenderung praktis dan pragmatis dalam mengambil keputusan. Yang penting “apa jare pak yai”, beliau berdua dan kebanyakan orang desa akan manut. NU, dalam hidup dan pemahaman keseharian orang tua saya telah menjadi budaya hidup yang sudah mengakar dan turun temurun diwariskan dari simbah dan kakek saya serta lingkungan sekitar.

Kedua, dunia kampus. Tidak bisa dipungkiri, saya menemukan dan yakin mengidentifikasi diri sebagai NU ketika aktif menjadi anggota dan pengurus PMII. Jika dulu di pesantren saya hanya mengidentifikasi NU sebagai hal yang taken for granted, udah dari sononya, maka selayaknya kaum muda yang mencoba untuk terdidik berpikir kritis dan memutuskan secara rasional, saya kemudian berusaha mendalami itu secara pribadi. Membaca sebanyak mungkin literatur dan sharing diskusi dengan senior dan alumni, sahabat dan bahkan adik-adik angkatan. Dari proses itu kemudian saya mendapat banyak sekali masukan dan pengalamana berharga untuk kemudian semakin memantapkan saya sebagai orang NU. Secara sadar, saya menahbiskan diri saya NU, meski itu kemudian bersambut dengan sekian banyak pertanyaan kritis sebagai warga NU.

NU sebagai sebuah identitas
Mengidentikkan diri dan menahbiskan diri sebagai warga NU itu ternyata membawa implikasi yang tidak ringan. Jaman saya di PMII dulu, terasa sekali ada binaritas kubu yang sangat kentara, antara NU struktural dan kultural. Saya sendiri, karena bukan pengurus NU dan juga tidak punya KARTANU (Kartu Anggota NU), mengidentifikasi diri sebagai warga NU kultural. Artinya, saya merasa diri saya NU karena secara kultur sosial dan pemikiran memang cocok dan juga telah lama dididik dalam lingkungan yang serba NU. Definisi kultur dan struktur ini meskipun problematis di satu sisi, tetapi juga mencerahkan di sisi yang lain.
Identifikasi kultur dan struktur terasa problematis ketika itu dilihat hanya sebagai sebagai sebatas abstraksi realitas menjadi penyederhanaan persoalan belaka tanpa memberi kejelasan memadai atas realitas yang terjadi. Pengelompokan dua hal secara ekstrem akan terasa ambigu dan lucu ketika kita menyimak realitas tidaklah sesederhana itu. Sebagaai contoh, tentu kita tidak bisa “gebyah uyah” menganggap bahwa orang yang masuk struktur NU (baca : pengurus dan anggota “resmi” yang ber-KARTANU) sebagai orang yang non kultur. Tidak sesederhana itu.

Akan tetapi di sisi lain, pembedaan itu malah membantu, terutama bagi saya pribadi, untuk menjadi dasar dan pijakan saya memposisikan diri dalam lingkaran besar bernama NU ini. Jika anda mengidentifikasi diri sebagai suatu bagian dalam sebuah kelompok, maka anda harus menentukan apa dan hal bagaimana yang bisa menjelaskan bahwa anda bisa termasuk dalam kelompok itu. Tidak dipungkiri, identifikasi ini sangat membantu untuk ribuan dan jutaan orang seperti saya dalam kapasitas identifikasi diri sebagai warga NU biasa.

NU dan proyeksi kedepan : Sebuah tanda tanya
Selesai dengan proyek identifikasi ke-NU-an saya, ada sebuah peristiwa diskusi yang masih membekas dan saya kira belum terjawab dengan gamblang sampai sekarang. Identifikasi sebagai warga NU kultural ini menyadarkan kenyataan bahwa disana masih banyak berjuta-juta anak muda seperti saya yang masih belum begitu memahami dan mengerti NU sebagai sebuah identitas yang melekat. Dalam diskusi itu, saya haqqul yaqin, banyak anak muda berkultur NU yang tidak mengerti apa itu NU dan kenapa harus ada NU, dan kenapa pula mereka harus memilih menjadi NU. Pertanyaan ini berangkat dari kegelisahan akan begitu banyaknya anak muda NU yang kemudian memilih secara sadar ataupun tidak untuk menaggalkan baju ke-NU-annya, menggantinya dengan identitas lain, organisasi lain, ataupun ideologi dan keyakinan lain.
Ada jawaban naif yang selalu saya dengar bahwa NU pasti akan selalu besar dan tidak akan pernah roboh menjadi abu sejarah karena NU diberkati dengan berkah dan karomah doa dari para pendiri dan Kiai-kiai khos NU dulu, sekarang dan besok. Ini jawaban ter-absurd yang pernah saya dengar, karena menggantungkan diri pada hal-hal itu sudah agak “tidak selaras” dengan perkembangan zaman. Saya tidak bermaksud menertawakan itu, tapi bisakah kita sedikit menyadari dengan kenyataan bahwa NU sebagai sebuah organisasi juga mesti bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan dan rasionalitas jaman itu agar terus eksis dan bermanfaat.

Eksistensi dan kapabilitas NU ini kemudian membawakan sebuah proyeksi akan seperti apa dan bagaimana seharusnya NU ini merancang masa depannya. Satu hal yang menjadi pemikiran saya sejak dulu adalah bagaimana NU menyikapi kaum mudanya. Ini penting sekali dikarenakan maju mundurnya NU kedepan berada ditangan kaum muda sekarang ini. Sering terlintas dalam pemikiran, apa sajakah rencana NU dalam rangka menggembalakan kaum mudanya agar menjadi pewaris NU yang benar-benar kapabel dan menjiwai diri sebagai seorang warga NU.

Ada sebuah kegamangan ketika melihat pengalaman pribadi saya yang “terlunta-lunta” dan harus mengidentifikasi diri dengan susah payah hanya untuk mengatakan dengan bangga bahwa : saya NU. Apakah diluaran sana juga banyak anak-anak muda NU yang mengidentifikasi diri sebagai NU, meski itu hanya sebatas kultural ideologis dan kemudian akan seperti apa NU kedepannya dengan begitu banyaknya jenis dan karakter kaum muda NU, baik yang dari pesantren, dari lembaga pendidikan umum, atau yang sekedar didikan ormas atau lingkungan yang kebetulan NU. Itu semua masih tanda tanya.
Bagaimanapun, Selamat Ultah ke 86 teruntuk NU-ku. Semoga NU makin mengerti kegelisahan kami, para generasi muda.

*Artikel ini telah dimuat di www.gp-ansor.org tanggal 30 Januari 2012
*Mahasiswa Center for Religious and Cross-cultural studies (CRCS) UGM Jogjakarta angkatan 2011 dan staf pengajar di PP Aswaja Nusantara Mlangi, Sleman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...