Langsung ke konten utama

Paradoks Jum'at...

Masjid Terapung di Kampus....
Jum'at yang panas, aku segera berangkat ke Masjid kampusku. Masjid kampus kami ini aslinya kecil, karena letaknya yang unik itu. Dibangun diatas kali kecil yang mengalir di tengah kampus, yang kemudian sengaja dibendung setengah biar airnya berkumpul, menjadikan masjid mungil ini biasa kami sebut "Masjid terapung", karena ketika anda shalat dan duduk2 disana akan terdengar gemericik air yang mengalir langsung dibawah masjid, mengelok dan kemudian berkumpul di telaga kecil bendungan buatan di bawahnya. Untuk semester ini, aku memang sudah ditakdirkan untuk jum'atan di kampus sebab jadwal kuliahku yang padat dari pagi sampai sore pas hari jum'at.

Aku yang biasanya memang datang telat, segera mengambil tempat di belakang, diatas parkiran yang berjarak sekitar 7-8 meter dari masjid. Parkiran ini biasa disulap jadi masjid tambahan karena kapasitas masjid apung ini kecil sehingga tidak muat menampung orang-orang jum'atan. Cukup digelar tikar diatas lantai semen itu, dan jadilah. Lumayan bisa menampung orang sebanyak yang di masjid mungil itu.

Segera setelah ambil wudhu dengan sandal pinjaman (cus gak mau dibilang ghozob, haha), aku segera mengambil tempat kosong, shalat sunnah, salaman kanan kiri dan duduk manis dengerin khotbah. Tapi sayang seribua sayang, materi khotbahnya sangat tidak enak didengar telinga. Penuh dengan praduga dan pertimbangan berat sebelah. Aku tahu, orang islam memang sering diperlakukan tidak adil oleh Barat, tapi kan tetap ada juga sisi kemanusiaan yang mereka lakukan untuk orang islam. Ada beberapa hal yang aku jadikan catatan kecil dari khotbah jum'at itu sendiri.

Pertama, Kita mesti menguasai media agar bisa menguasai dunia.
Ini jelas perspektif yang biner dan simplikatif. Memang benar sekarang ini abad informasi, dimana orang bisa menguasai dan menghegemoni khalayak dengan tanpa sadar, cukup kasih berita atau tayangan yang berulang-ulang, orang akan dengan tidak sadar mengikuti nalar yang kita buat itu. Secara umum untuk orang awam mungkin iya, tapi secara khusus, kesimpulan ini sangat serampangan. Kesimpulan ini mengecualikan peranan orang-orang kritis yang tahu bahwa kebanyakan berita itu adalah SAMPAH yang gak boleh ditelan bulat-bulat. Mungkin orang2 ini jumlahnya sedikit, tapi jangan remehkan gerakan orang yang berotak dan kritis. Saya kira, asumsi dan kesimpulan penceramah diatas perlu di koreksi ulang. Dan mestinya dia tahu, dunia ini tidak dibentuk oleh orang-orang awam, tapi oleh orang-orang besar yang cerdas, kritis dan mau berjuang.

Kedua, Persoalan itu semua bisa diselesaikan oleh Islam.
Ini jelas simplikasi yang menggelikan. Oke saya percaya "Islam" adalah yang paling sempurna, tetapi kesempurnaan itu gak akan mungkin terjadi selama Islam masih menutup diri dari realitas dan bersikukuh dengan kebenarannya sendiri. Harusnya kita belajar dari kenyataan, contoh riil adalah ketika Islam di proklamirkan dan menjadi satu-satunya asas yang kaku. Yang muncul adalah negara yang aneh, wagu dan mengerikan.

Contohnya Afghanistan di bawah Taliban dulu dan Arab Saudi. Taliban mati-matian memproteksi warga negaranya, melarang menggunakan semua hal yang berbau barat, walaupun kita semua tahu, mereka itu belajar dari AS dulunya, belajar nembak, belajar tempur dan bahkan belajar minum BIR dari mereka. Arab Saudi yang ngakunya Khodimul Harromain, pelayan dua tanah suci Makkah-Madinah, juga memalukan. Ngakunya Islam 100% tapi lihat betapa bejat perilaku pejabat dan keluarga raja. Mereka bergandeng tangan erat dengan AS, mengijinkan AS membangun pangkalan disana untuk menggempur Iran dan Irak, diam saja dengan penderitaan palestina, dan masih banyak kejanggalan-kejanggalan lain yang tidak sepatutnya dilakukan oleh Negara yang ngakunya Islam. Akibat dari kebijakan dua negara itu, kita bisa melihat betapa tertinggal dan miskinnya rakyat Afghanistan, serta bodoh dan pengecutnya para warga Arab Saudi dalam percaturan dunia internasional.

Bicara Islam itu rumit. Karena Islam sebagai realitas sosial dan teologis itu sangat beragam dan masing-masing punya pendapat tersendiri. Jika anda hanya merujuk Islam sebagaimana yang ada di Kitab Suci dan Hadis, anda juga akan menjumpai sebegitu banyak kelompok yang mengaku mendasarkan diri pada Qur'an dan hadis tetapi dengan begitu banyak perbedaan yang mengemuka. Dan yang lebih aneh lagi, ada kelompok puritan islam yang tidak mau memakai hadis nabi, hanya ingin pakai al qur'an. Jika Islam di generalisir hanya sebagai aturan dan perangkat syari'ah (baca : Fiqh), anda benar2 menyederhanakan persoalan, sebab masih ada dimensi tasawuf dan akhlak yang mesti sejalan. Belum lagi jika kita bicara Islam dari perspektif yang lain, mengutip Said Aqil Siraj, betapa Islam itu sempurna ketika ia menjadi INSPIRASI, bukan ASPIRASI!

Mendengar khotbah jum'at itu, aku cuma geleng-geleng kepala dan tersenyum kecut. Masih ada orang "LUGU" kayak gini di kampusku.. Menggelikan dan memprihatinkan. Ada satu analogi ceramahnya yang waktu itu membuatku tersenyum kasihan : Dia bilang bahwa kecelakaan Tugu, Afriyani yang menewaskan banyak orang itu adalah teguran Alloh karena waktu itu Mendagri Gamawan Fauzi sedang berusaha keras mencabut Perda MIRAS di sejumlah daerah. Astaga! Meskipun sama-sama memabukkan, Ganja itu beda dengan MIRAS pak! dan kedua, pernyataan sungguh gak peka korban, itu menyakiti nurani kemanusiaan  keluarga korban yang ditinggalkan. Mbok yo mbuat statemen khutbah yang lebih sejuk dan tidak mengiris rasa kemanusiaan kita. Keluarga korban itu kan bisa menggugat, kenapa mesti keluarga kami yang dikorbankan?? kenapa bukan si Afriyani dan teman-temannya yang mabuk ganja itu saja yang mati biar makin lengkap teguran Tuhan itu?. Aku yakin, bapak penceramah yang Doktor dan terhormat itu gak akan bisa menjawab gugatan nurani seperti itu.

Dan aku tambah miris lagi ketika mendengar bacaan al qur'annya yang jauh banget dari kaidah tajwid dan makharijul huruf-nya yang berantakan (Kebiasaan di masjid kampus kami memang khotib juga sekalian jadi Imam). Masya Allah, baca Qur'an aja berantakan gitu, kok lantang banget bilang Islam itu Solusi menyeluruh untuk masalah dunia. Paradoks jum'at yang benar-benar lengkap!

Salam Islam Damai untuk Semua.

Catatan :
- Saya lebih suka mengikuti tafsiran Gus Dur bahwa Islam itu harusnya ditafsirkan sebagai Kepasrahan, bukan nama agama yang sudah dilembagakan secara sosial itu. Itu lebih toleran dan memanusiakan manusia.
- Saya tidak tahu nama penceramah jum'at itu, tapi rasanya beliau ini sering dapat jatah khutbah jum'at di kampus.
- Well, kampus emang arena bebas, asal intelek dan gak pake kekerasan fisik.. Ini sekedar refleksi singkat saja. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...