Langsung ke konten utama

Kisah Dua Enam


Apa yang dipikirkan oleh seorang lelaki yang baru menginjak usia 26? Pertanyaan ini menggelitik hatiku secara konstan sejak awal-awal tahun 2012 ini bergulir. Aku menyadari satu hal, bahwa kehidupan akan senantiasa berjalan tanpa henti dan tanpa ampun. Ia hanya memberikan kita sekali kesempatan untuk bernafas, sesudah itu hilang tanpa bekas. Jika hidup adalah sesingkat itu, jika hidup hanya semakna dengan satu tarikan nafas kita yang semakin lama semakin pengap, mengapakah manusia semakin lama semakin rakus dan tak terhingga kebutuhannya? Dan aku sendiri, apa yang mesti kulakukan? Terlalu banyak orang bermimpi mengubah dunia, tapi dia sendiri lupa mengubah dirinya sendiri. Apakah aku masuk golongan itu? entahlah, Aku masih tidak mengerti.
Masih tergambar dengan jelas, awal-awal aku menjadi baligh, penanda kedewasaan yang datang menghampiri. Waktu itu aku masih kelas 2 Mts awal, umurku 14 tahun. Pasca dzuhur, aku tidur tak sengaja, membawaku bermimpi untuk pertama kalinya mengalami apa yang dilakukan pria dewasa dengan lawan jenis. Bangun tidur, aku menyadari kemudian, ada yang salah dan basah dengan sarung yang kupakai. Detik itu aku termenung sendiri, “Inikah akil balig???” berontakku sendiri. “Inikah awal mula manusia mulai dewasa dan bertanggung jawab untuk semua hal yang dia lakukan??”. Pada detik itu juga, ada perasaan sedih yang menyeruak, bahwa aku tidak lagi menjadi seorang anak yang tanpa dosa, rasanya tak rela aku melepas masa kanak-kanakku. Dan aku tak siap untuk menjadi dewasa, tidak siap untuk bertanggung jawab atas semua keputusan hidup, dosa dan pahala yang mulai tercatat oleh malaikat tak terlihat di kanan-kiri pundakku.
Dan kini, 26 tahun sudah aku menghirup hidup di dunia ini. Aku masih membawa sedikit penyesalanku dulu, bahwa menjadi seorang kanak-kanak adalah keindahan, menjadi kanak-kanak adalah saat kebahagiaan menghampirimu setiap saat, tanpa resah dan gelisah. Peristiwa 13 tahun lampau itu pula yang kini membekas di kenanganku. Dan setelah 13 tahun itu, aku harus mengalah untuk mengakui, bahwa sudah saatnya aku menjadi dewasa, sudah tiba waktunya untuk ksatria, memikul beban dan tanggung jawab atas nama hidup, untuk membuat perbedaan dan memberi kebaikan bagi sekitar. Tetapi kawan, harus dari manakah aku memulai?? Harus dari manakah kukayuhkan perahu hidupku untuk berlayar?? Haruskah kudengarkan suara hatiku sendiri atau suara-suara bijak dan sumbang sekitar yang keduanya sama-sama tak tentu arah dan membawa resiko-resiko yang aku sendiri tak tahu? Aku merasa, tidak ada jawaban yang pasti untuk itu. Mungkin satu waktu kita mesti mendengarkan suara dan pendapat orang, mungkin lain waktu kita mesti percaya pada bisikan nurani dan intuisi sendiri.
Tentang Keinginan, Mimpi, Cita-cita dan Cinta
Jika ada orang yang bertanya apa cita-citaku? Aku akan menjawab dengan antusias bahwa aku punya banyak sekali keinginan-keinginan dan mimpi yang ingin aku capai. Apakah itu pantas disebut cita-cita? Mungkin iya mungkin tidak. Yang jelas aku menggaris-bawahi dengan tegas bahwa cita-cita adalah sama dengan keinginan dan mimpi yang ingin kuraih. Aku tidak perduli entah itu layak atau tidak, yang jelas selama keinginan itu masih dalam rel kebaikan dan mungkin untuk diraih, mengapa tidak?
Anehnya, banyak orang yang bermimpi saja mereka tidak mau. Padahal mimpi itu gratis, tidak perlu bayar. Aku hanya perlu memusatkan diri untuk focus dan berusaha keras untuk menggapainya. Diiringi doa tentu saja. Nabi saja menyuruh kita untuk bercita-cita yang tinggi, sebab dengan itulah kita bisa terbang tinggi menembus awan dan horizon batas ketidakmungkinan yang kita takutkan. Tak terhitung juga sudah berapa kali dan begitu banyak orang yang pesimis dan mewanti-wantiku untuk tidak terlalu gede rumangsane, takut nanti jatuh dan tidak bisa bangun lagi. Tidak cuma kawan dekat, bahkan bapak dan simbokku pun sering menasihatiku untuk tidak terlalu ngoyoworo, untuk tidak terlalu tinggi bercita-cita.
Aku sendiri pernah begitu kuatir bahwa aku akan jatuh. Karena jatuh itu sebuah konsekuensi hidup. Dan tanpa bermimpi ataupun tidak, hidup tidak pernah datar bukan? Ia akan selalu bergelombang, naik dan turun. Jadi melompatlah lebih tinggi, berusahalah lebih keras, kepakkan sayapmu sekuat dan setinggi yang yang kamu mampu. Jika pun jatuh, ya bangkit lagi. Cari jalan lain, atau berusaha lebih keras. Tidak ada yang mudah, tapi juga semua itu mungkin.
“Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.” Kalimat sakti dari Andrea Hirata ini memang benar adanya. Tuhan itu kan Maha Pemurah dan Penyayang, dan Dia juga sudah berjanji akan mengabulkan doa dan usaha kita, jadi apalagi yang aku takutkan? Aku sudah dapat sponsor dan jaminan dari Dia, Sang Supporter Teragung hehehe. Apalagi yang aku takutkan? Tidak ada. Sekali-kali tidak ada.
Cita-cita dan mimpi selalu diawali oleh keinginan. Sekarang ini, aku ingin menjelajah Indonesia dan dunia, belajar S3 di Amerika atau Eropa, tinggal di Jerman, bekerja untuk badan internasional semacam PBB, Ketemu Jurgen Habermas di Jerman, pulang dan mengajar di kampus ternama, mengajar tahfizul qur’an, mendirikan yayasan sosial untuk pendidikan dan peningkatan taraf hidup orang desaku, mendirikan universitas di Cilacap, berziarah ke Makkah dan Madinah, menghajikan orang tua, menguasai banyak bahasa dunia, punya toko buku murah, menulis buku dan puisi, dan masih banyak lagi lainnya yang mungkin belum sempat aku tuliskan.
Tidakkah aku berlebihan? Tentu tidak. Karena itu hanya mimpi belaka dan tidak merugikan orang lain bukan? Tugasku selanjutnya adalah menata rencana, mempersiapkan semua yang perlu disiapkan, dan berjuang untuk menggapainya. Ada plan A, B dan C yang musti aku siapkan. Ada banyak step yang harus aku langkahi. Butuh kesabaran, usaha keras dan doa. Dan aku yakin, semua itu akan tercapai nanti. Tuhan tidak pernah bohong dan ingkar dengan janji-Nya. Pasti akan ada mimpi yang terrelisasi dan tidak, tetapi aku yakin, Tuhan akan menggantinya dengan yang hasil dan mimpi yang lain.
Dan bagaimanakah dengan urusan cinta? Haha. Aku harus mengakui, menjadi spesies lelaki yang keluar dari zona “cerdas, ganteng dan kaya” memang menyusahkan. Terlalu pahit untuk mengenang kegagalan-kegagalan yang sudah-sudah. Tapi mau gimana lagi? Itulah hidup. Realitanya aku sudah pernah naksir dan ditaksir, berpacaran, memutus pacar dan diputus pacar haha. Aslinya juga sama dengan kisah cowok-cowok lain wkwkk, dengan variasi dan tingkat stress yang berbeda-beda haha. Untuk status sekarang, aku masih bilang bahwa statusku masih menunggu. Menunggu kembalinya seseorang yang dulu pernah meninggalkanku. Sejauh ini alhamdulilah, jalan baliknya lumayan terang, dan mudah-mudahan Tuhan memberikan hasil yang menyenangkan untuk penantianku ini.
Umur 26, menurutku sudah bukan waktunya lagi untuk berpacaran. Tapi segera menikah dan membina rumah tangga. Tetapi bagaimana menyeimbangkan antara meraih mimpi dan pernikahan? Itu yang masih belum ada gambaran. Usahaku selama ini adalah bagaimana mencari pasangan yang mau mengerti dan memahami ledakan-ledakan mimpi yang sudah memenuhi rongga kepala. Tentu ini penting sekali, karena aku harus punya pasangan yang mau mengerti dan member support untuk mengejar mimpi itu, dan begitu juga sebaliknya. Dan percayalah, menemukan “pasangan yang ideal” seperti ini gampang-gampang susah. Ada misteri hidup yang tidak bisa kita abaikan, bahkan meskipun itu dari karakter pasangan kita sendiri nanti.
Aku selalu mengagumi orang-orang yang setia dan rela hidup bersama dengan satu orang sepanjang hidupnya. Aku belajar memahami itu dari kehidupan Eyang dan kakekku, dan tentu saja Bapak simbokku. Sering aku bertanya-tanya, jalinan apa yang sedemikian kuat mengikat beliau-beliau semua untuk tetap cinta dan setia sampai tua. Sementara namanya konflik dan cobaan pasti menghadang tanpa lelah. Jujur aku tidak bisa mengenali semua ikatan itu. Dan percayalah, ketika aku tanyakan itu kepada bapak simbokku, mereka menggeleng tak tahu jawabannya apa. Jujur, aku bisa mengerti dan memahami alasan orang untuk bercerai, pisah dari suami atau istri dan juga anak-anak mereka, tapi aku tidak atau belum bisa mengerti betapa orang juga bisa bersetia dan hidup bersama dengan satu pasangan seumur hidupnya.
Ayolah, jangan bilang itu sebab cinta belaka. Kita pun sudah mengerti, bahwa cinta itu kadang-kadang bisa lenyap tanpa bekas, dan ia bisa datang lagi tanpa permisi. Terlalu naïf. Dugaanku sementara, banyak faktor yang menyebabkan itu semua, dan biarlah nanti aku menemukan itu sendiri ketika aku sudah berumah tangga. Pastinya ini bukan jawaban memuaskan, tapi mau bagaimana lagi? Tidak semua pertanyaan butuh jawaban pasti yang seketika, serahkan saja pada waktu.
Epilog
Membacai puluhan posting dari teman-teman di akun FB-ku, baik yang sudah kukenal baik maupun belum sempat kenal baik, menyiratkan satu keharuan mendalam. Lihatlah, masih banyak orang yang mau bersusah payah mendoakan dan menyelamatiku. Terima kasih tak terhingga, terima kasih untuk semoa doa dan harapan, semoga Tuhan akan membalas kalian dengan sebaik-baik balasan. Amieen.
Doa dan harapan adalah kebaikan yang senantiasa ditanam oleh manusia untuk menyuburkan hidup. Doa dan harapan, dalam bentuk yang paling sederhana memberi penegasan bahwa kita memang manusia yang lemah, sehingga membutuhkan campur tangan Tuhan untuk apapun yang kita perbuat. Aku sendiri meyakini, semua yang kita lakukan harus bernada kebaikan. Sebab disitulah kita menjadi sempurna untuk menjadi sempurna, sempurna bahwa kita memang berkekurangan dan sempurna bahwa kita bisa saling melengkapi itu bersama-sama. Terima kasih untuk segalanya.
Salam dua enam. :)
Mlangi, Jogjakarta, 29 – 30 April 2012.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...