Langsung ke konten utama

Sebuah Nama Berjuta Cerita


when I was young.. haha.
26 tahun adalah waktu yang tidak singkat. Sejarah hidupku dimulai dari kelahiran di sore hari yang terang. Aku lahir sore menjelang asar, 20 Syakban hijriah, sebagai anak ketiga dan rupa-rupanya Tuhan menakdirkanku untuk jadi bungsu. Kelahiranku adalah kelahiran yang sebenarnya tak direncanakan, mengingat simbokku dulu pengikut KB dan sudah punya 2 anak perempuan dan lelaki. Keluarga yang ideal bukan? Tetapi Tuhan berkehendak lain, 2 tahun pasca kelahiran kakakku, aku dikaruniakan Tuhan kepada Bapak simbokku ini.
Bapakku yang tidak punya persediaan nama, menamaiku cukup singkat, Masduki, dengan “K” bukan dengan “Q”. Ketika acara 7 hari penamaanku, Pak Kiai yang mengumumkan namaku mengernyitkan dahi mendengar nama yang disampaikan Bapak, kemudian beliau berpikir singkat dan tiba-tiba menambahkan nama “Anwar” didepan nama dari Bapakku. Bapakku setuju, jadilah nama yang diumumkan di khalayak tahlilan itu menjadi Anwar Masduki, nama resmi dan asliku di Ijazah sampai sekarang.
Aku tumbuh dan besar di lingkungan kampung kecil dan terpencil di pinggiran Cilacap sana. Bapakku Guru Swasta MI, yang tidak sempat jadi PNS meskipun lulusan PGA. Bapakku malas untuk mengurusi administrasi yang berbelit-belit dulunya. Untung bapak dapat warisan sawah dan pekarangan dari kakek yang bisa dipergunakan buat mencukupi kebutuhan keluarga. Ekonomi keluargaku terbantu dengan jiwa dagang simbokku yang pernah menjadi pembuat dan penjual tempe, jualan soto dan gorengan musiman (terutama kalau agustusan dan bulan puasa), dan terakhir beliau pindah haluan jualan baju kecil-kecilan di Pasar. Sampai sekarang, simbokku ini masih setia berjualan, tiap hari berangkat ke Pasar yang berbeda-beda, diantarkan oleh Bapak yang sekarang sudah pensiun mengajar.
Secara ekonomi, bisa dibilang keluargaku berkecukupan, meskipun tidak berlebih. Kakakku yang pertama, perempuan, dia diasuh oleh eyang kami sejak kecil. Meskipun rumah kami bersebelahan, tapi kakakku pertama ini jarang banget kerumah kami. Maka jadilah aku dan masku, meskipun kami berjarak 2 tahun, seperti anak kembar, karena kami sama-sama cowok dan perawakan kami juga tidak jauh beda, hanya mua saja yang berbeda. Aku masih selalu ingat, sampai kami berdua dari kecil sampai kelas 5 dan 6 MI, baju lebaran yang kami pakai selalu sama, baik dari motif, warna dan ukurannya hehe.
Namanya 2 anak cowok, tiap hari kerja kami berdua ya berkelahi, dan aku pasti yang kalah. Kalau kalah, yo nangis dan ngambek hehehe. Perkelahian kami baru berhenti ketika maskumasuk Aliyah dan mesantren di Kesugihan, kecamatan timur Kota Cilacap. Aku menyusul setahun kemudian, juga kembali bareng masku, bareng satu kamar di pondok yang sama, PP Al Ihya Ulumaddin Kesugihan Cilacap, asuhan Romo KH. Chasbullah Badawi yang biasa kami panggil dengan sebutan “Romo Khas”.
Aku bersekolah MI Al Falah, ditempat bapakku ngajar, berjarak kira-kira 1 km dari rumahku. Lulus tahun 1998, pendidikanku kemudian aku lanjutkan ke MTsN Kawunganten, lulus tahun 2001. MTs-ku ini berjarak sekitar 9 km dari rumahku. Tiap hari aku dan teman-teman serombonganku naik sepeda ontel. Hujan dan panas sudah menjadi kawan akrab selama 3 tahun bersekolah disana. Banyak ceritera-ceritera yang tak bisa kulupakan, dari yang lucu, sedih sampai bahagia. Lulus 2001, aku segera menyusul mas-ku, bersama mbak-ku untuk mondok di Kesugihan.
Bersekolah sambil mondok di Kesugihan itu banyak gak disiplinnya ternyata. Aku masuk di MA Minat, sekolah yang tepat ada didepan pintu masuk mondok. Sekolahku ini cowok semua sebab ceweknya dipisah jauh di pondok putri, dan belajarnya masih mayoritas diisi kitab kuning dan hafalan nadhom dari Nahwu shorof sampai faroidl. Dari manthiq sampai Balaghoh. Sayangnya, bagusnya materi itu gak diimbangi dengan manajemen sekolah yang bagus. Jadilah sekolahku ini jadi sekolah bergaya diniyah. Kami para siswa jarang sekali memakai seragam sekolah nasional, tapi lebih sering bersarung dan ber-theklek ria. Sambil mendekap kitab-kitab kuning yang tebal-tebal, lengkaplah kami seperti santri, bukan siswa yang bersekolah formal.
3 tahun aku habiskan disana. Masa-masa sekolah Aliyah yang paling indah dengan teman cowok semua. Menjadi anggota OSIS, PKS dan Pramuka secara berbarengan. Ngelayap dan main PS diam-diam agar gak ketahuan sama Keamanan. Pernah juga ditakzir bareng, disuruh tawaf keliling Aula Pondok sambil dikalungi Panci dan Ketel gara-gara ketahuan nonton Serie-A di warung Muslim, yang dilarang aturan pondok. Masak nasi bareng-bareng, main bola bareng di lapangan PJKA, mencandai pak mastur penjaga perpus yang murah senyum, berebut baca Koran Suara Merdeka di Sekretariat Pusat, antri kamar mandi, dan khataman bareng ketika Haul. Semua terasa indah untuk dikenang.
Dan disana pula, aku kemudian menambahkan namaku sendiri. Adalah kebiasaan yang jamak terjadi, ketika kami khataman juz ‘amma bil ghoib atau al qur’an bin nadlor, untuk menambahi nama di belakang nama kami. Nama itu biasa kami ambil dari nama bapak, asal atau tokoh-tokoh tenar dunia muslim. Aku sejak khataman pertama (Juz ‘Amma Bil Ghoib) sudah memilih untuk menambahkan nama tengah bapakku, zamroni. Karena di bahasa arabkan, jadinya Azzamroni. Jadilah nama lengkapku ketika dipanggil naik ke panggung utama menjadi Anwar Masduki Azzamroni.
Selepas Aliyah tahun 2004, aku meneruskan kuliah di UNDAR Jombang dengan satu orang teman. Aku yang hobi ikut organisasi kemudian bertekad untuk mengenalkan diri dengan nama Azzam, panggilan singkat dari nama Azzamroni itu. Ada alasan khusus, bahwa aku mengubah nama panggilanku agar ada spirit baru yang terus memacuku untuk berubah, berubah menjadi lebih baik dari kemarin. Maka jadilah kemudian, teman-teman kampus dan semua orang, selain dirumah dan pondokku yang memanggil Azzam. Dan itu berlaku sampai sekarang.
6 tahun aku habiskan waktuku di Jombang, kuliah selama 4 tahun. Aktif di pergerakan selama setahun, dan kemudian mondok setahun untuk merampungkan ngajiku. April 2010, aku pindah ke kampong inggris Pare untuk belajar bahasa inggris, demi cita-citaku untuk lanjut belajar S2 di UGM, jurusan CRCS alias Center for Religious and Cross-cultural Studies alias Agama dan Lintas Budaya. Target awalku Cuma 3 bulan saja di Pare, tapi karena masih merasa kurang, aku kemudian memperpanjang masa belajarku sampai tahun 2011, tepatnya sampai Februari 2011.
Sepulang dari Pare, barulah aku mengepak barang di Jombang, dan pulang ke Cilacap, meninggalkan kenangan yang tak ternilai harganya disana. 2 bulan dirumah, segera kukemasi barang lagi dan pindah ke Jogja. April 2011 aku resmi pindah ke Jogja, kembali ke pesantren dan mendaftar kuliah di CRCS UGM. Setelah seleksi dan wawancara, secara resmi aku dinyatakan diterima di CRCS UGM pada Juli 2011. Agustus kami pun mulai mengikuti training Academic English Class selama sebulan penuh dibimbing dua orang bule dari USA, Miss Nicole Laux dan Zoe Mc Laughlin. Agustus itu pula aku dianugerahi Tuhan sehingga lolos beasiswa CRCS, lumayan gratis SPP selama 2 semester awal. Dan sampai sekarang, aku menetap di Jogja, nyantri dan ngajar di PP Aswaja Nusantara Mlangi, ngajar English Grammar di Global English Institute sambil kuliah di CRCS UGM.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...