Prolog
Sabtu sore 11 Agustus kemarin,
sekitar pukul 4 saya dan satu teman meluncur mulus ke Jalan Kaliurang, tepatnya
menuju Seknas Komunitas Gusdurian di Dayu, Ngaglik, Sleman. Sore ini ada
undangan dari Komunitas Gusdurian Jogja untuk memperingati ultah Gus Dur yang
ke 72, ini dengan asumsi bahwa tanggal lahir Gus Dur adalah tanggal 4 Agustus
1940.
Ada yang unik disini, menurut
cerita mas Heru yang menjadi narasumber sore itu, sebenarnya Gus Dur lahir
tanggal 7 September, bukan 4 Agustus. Waktu itu ibunda beliau, Hj. Solichah
mengatakan pada petugas pencatat kelahiran bahwa anaknya lahir tanggal 4 bulan
8. Sang petugas menangkap dan menulisnya sebagai 4 agustus, padahal yang
dimaksud ibunda beliau adalah tanggal 4 bulan 8 Hijriyah, yakni tanggal 4 bulan
Syakban, bukan penanggalan masehi. Nah, tanggal 4 Syakban ini kalau di hitung
memakai kalender masehi akan jatuh tepat tanggal 7 September 1940, bukan 4
Agustus. Argumen ini didasarkan pada pemahaman bahwa waktu itu, ibunda Gus Dur
belum begitu tahu kalender masehi, laiknya orang pesantren, beliau lebih hafal
dan terbiasa memakai penanggalan hijriyah atau jawa. Tetapi berhubung tanggal 4
agustus ini sudah menjadi catatan resmi kelahiran Gus Dur, maka ya sudahlah, the show must go on! Ultahnya tetap
diselenggarakan panitia. (lebih detailnya, silahkan baca The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid-nya Greg Barton,
terbitan LkiS Jogja).
Acara diawali dengan nonton film
sejarah Gus Dur yang diambilkan dari salah satu acara di sebuah TV swasta
nasional. Setelah itu dilanjutkan diskusi bareng dengan mas Heru Prasetya, salah
seorang penulis buku komik Gus Dur van
Jombang (bagi yang suka komik, silahkan beli buku terbitan Bentang Pustaka
jogja ini, isinya tentang biografi beliau yang dikomikkan). Menjelang berbuka
puasa, moderator meminta mbak Alisa Wahid, putri Gus Dur yang menjadi
koordinator Komunitas Gusdurian se Indonesia untuk memberikan sambutan.
Hal yang disampaikan Mbak Alisa ini
adalah tentang 9 nilai dasar prisma pemikiran Gus Dur. Bagi teman-teman yang
belum tahu, 9 nilai pemikiran Gus Dur ini dirumuskan pada peringatan setahun
wafatnya Gus Dur di Ciganjur sana. Ada banyak tokoh nasional yang terlibat
seperti Romo Magnis, Greg Barton dan masih lainnya yang menganggap diri sebagai
Gusdurian ataupun sekedar pengagum Gus Dur belaka.
9 nilai pemikiran Gus Dur ini diharapkan
bisa memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap spektrum pemikiran dan
tindakan Gus Dur yang sangat luas. Sangking luasnya, sehingga beliau sering
dilabeli kontroversial. Ini dikarenakan Gus Dur adalah orang yang mau dan tanpa
segan-segan berseberangan dengan pendapat mayoritas yang justru kebanyakan
adalah para pendukung beliau sendiri. Terlepas dari kekurangan Gus Dur sebagai
manusia, 9 nilai ini akan sangat membantu kita untuk memahami logika pikir
disetiap perilaku dan pendapat Gus Dur itu. Selain itu, diharapkan agar nilai-nilai
ini bisa menjadi teladan dan warisan Gus Dur yang tetap hidup, berkembang dan
menjadi elan vital kehidupan kita.
Nilai pertama : Ketauhidan
Inilah prinsip dasar yang menjadi
basis dari seluruh pemikiran Gus Dur. Ketauhidan adalah pengakuan manusia bahwa
tidak ada hal yang lebih penting atau segalanya selain peran dan posisi tunggal
Tuhan sebagai sang Maha segalanya di semesta ini. Prinsip ketauhidan ini
membawa konsekuensi riil seperti yang berhak menentukan baik dan buruk, benar
dan salah adalah hak prerogatif Tuhan. Manusia tidak boleh dan tidak akan bisa
mendikte Tuhan untuk begini dan begitu. Jika anda beriman, berbuat baik, bagus
ritual dan sosialnya, itu semua tidak menjadikan wajib bagi Tuhan untuk
memasukkan anda kedalam surga. Sekali-kali tidak. Tuhan bebas untuk melakukan
apapun yang Dia mau.
Hebatnya, konsepsi tauhid ini tidak
hanya bisa dipahami dan digunakan oleh muslim sendiri. Sebagai contoh, bnyak sarjana
kristen yang mengakui bisa mendalami kekristenan mereka setelah belajar dan
memahami tauhid. Mereka itu seperti Louis Massignon, W.C. Smith, Kenneth Cragg,
Hans Kung dan Bijlefeld (selengkapnya baca bukunya Alwi Sihab, Islam Inkusif,
terbitan Mizan). Belajar dari situ, salah satunya bisa kita pahami kemudian
kenapa Gus Dur bisa demikian inklusif. Ketauhidan tidak akan pernah bisa
memberikan ruang untuk fanatisme buta (yang berarti menganggap diri mutlak yang
paling benar dalam beragama), tapi tauhid memberi landasan kuat untuk beragama
dan bergaul dengan ramah dengan yang lain.
Nilai kedua: Kemanusiaan
Mengapa Gus Dur membela Ahmadiyah? Membela
Inul, Dorce dan kaum Tionghoa? Mbak Alisa berhusnudhon bahwa bukan Inul, Dorce
dan Ahmadiyah serta Tionghoa-nya yang dibela, tapi kemanusiaan mereka lah yang
memanggil Gus Dur untuk membela tanpa reserve. Harus diakui bahwa kita beragama
itu cenderung mengedepankan dogma, bukan realitas kemanusiaan itu sendiri.
Maka tidak heran, ada orang “saleh”,
rajin shalat dan baca qur’an, tapi gemar memukuli orang yang buka warung di
siang hari di bulan puasa. Logika kemanusiaan yang hilang diganti dengan
seperangkat doktrin, sehingga keamaan mereka menjadi kering dan terkadang
asosial. Gus Dur memberikan kita contoh, bahwa kemanusiaan adalah hal yang
fundamental dalam hidup. Sebab dari situ kita bisa belajar untuk memahami dan
menerima orang lain dengan terbuka. Gus Dur mengajari kita untuk memanusiakan
manusia, bukan menganggap mereka seperti binatang yang bisa kita pukuli, grebek
dan bahkan dibunuh sesuka kita.
Nilai ketiga: Keadilan
Adakah yang lebih dibutuhkan
manusia dalam hidupnya selain keadilan? Tidak ada yang menolak itu. Itulah kenapa,
sebagai contoh, Gus Dur mau berlelah-lelah membela kaum minoritas. Gus Dur
berusaha memberi keseimbangan diantara sekian banyak problem mayoritas vs
minoritas di negeri ini. Buat Gus Dur, mayoritas tidak boleh berwatak
minoritas, dan sebaliknya minoritas tidak boleh berwatak minoritas.
Karena jika itu yang muncul, akan
muncul ketidak-adilan yang hanya mendasarkan diri pada logika golongan
masing-masing. Prinsip keadilan mensyaratkan keseimbangan perang antara
mayoritas dan minoritas. Tak heran kemudian Gus Dur terkenal sebagai tokoh
pluralisme, yang tidak pernah mau tersekat dalam kotak sempit identitas, tapi
aktif menjalin komunikasi dan sinergi dengan semua entitas luar. Tentu saja,
kerjasama ini dilandasi untuk memperoleh keadilan yang benar-benar bisa
diterima oleh semua golongan.
Nilai keempat: Kesetaraan
Ada cerita dari mbak Alisa, ketika
Gus Dur masih menjadi Ketua Umum PBNU, beliau pernah sowan kepada seorang kiai
di cirebon. Disana, sang kiai ternyata tidak hanya memberikan wejangan, tapi
sang kiai juga bersungguh-sungguh meminta Gus Dur untuk menikahi salah seorang
putrinya. Sebelum memberikan jawaban, Gus Dur meminta ijin untuk pamit mencuci
tangan ke belakang. Ternyata itu hanya akal bulus Gus Dur, beliau ternyata
langsung nggeblas, pergi tanpa pamit sama sang kiai.
Di kemudian hari, mbak Alisa
memahami bahwa Gus Dur ini ternyata tidak mau berpoligami karena menganggap
bahwa posisi laki-laki dan perempuan itu setara. Sehingga kalau Gus Dur
berpoligami, beliau menganggap bahwa itu sudah bentuk ketidaksetaraan. Maka karena
tidak enak untuk menolak permintaan kiai dari Cirebon itu, Gus Dur memilih untuk
pergi tanpa pamit.
Nilai kelima: Persaudaraan
Kenapa persoalan Papua di jaman SBY
ini menghabiskan dana begitu besar tapi masih dengan hasil yang kabur dan
bahkan semakin parah? Jawabannya, SBY harus meneladani Gus Dur dalam merangkul
orang papua. Gus Dur tidak membutuhkan dana besar untuk meredam pergolakan
disana. Gus Dur hanya mengembalikan nama Papua, membolehkan mereka mengibarkan
bendera bintang kejora (Gus Dur menyamakan status bintang kejora dengan bendera
GP Ansor, boleh dikibarkan berjejeran dengan Merah Putih asalkan lebih rendah dari
sang Saka). Dan pendekatan beliau ini lebih efektif dalam mengambil hati
orang-orang Papua, karena Gus Dur menganggap mereka sebagai saudara sebangsa
yang memang punya hak untuk menyuarakan aspirasinya.
Harus jujur diakui, benarkah kita
menganggap orang papua sebagai saudara kita sebangsa dan setanah air? Kalau sudah,
seberapa perduli kita dengan persoalan mereka? Jawabannya akan terlalu sedikit.
Kita kebanyakan hanya peduli kalau Papua harus terus jadi bagian NKRI karena
ada tambang emas dan kekayaan alam dan budaya tak terhingga, atau karena begitu
banyaknya talenta emas orang papua dalam sepakbola misalkan. Kita masih kurang
peduli dengan betapa rendahnya tingkat pendidikan disana, dan betapa mahalnya
biaya hidup disana. Kita juga tidak begitu mengetahui betapa menderitanya
rakyat papua yang tercerabut dan merasa terasing di tanahnya sendiri, karena
begitu banyaknya pendatang yang menguasai segala lini kehidupan mereka,
terutama dalam bidang politik dan ekonomi.
Nilai keenam: Pembebasan
Ketika Gus Dur menjadi ketua umum
PBNU, selain dengan mencontohkan sendiri, beliau juga aktif mendorong dan
membebaskan banyak sekali anak muda NU untuk berekspresi dan berkarya tanpa
harus takut dengan otoritas-otoritas jam’iyyah semacam yang dipunyai para kiai
sepuh. Gus Dur rela menjadi penjamin, pembela dan pelindung mereka dalam
menghadapi setiap tekanan yang datang. Buah dari itu bisa kita lihat sekarang,
dimana orang muda NU tidak malu lagi untuk menunjukkan identitas ke-NU-annya,
hal yang dulu sangat jarang dilakukan jaman orde baru. Banyak intelektual muda
NU yang menjadi akdemisi, pegiat LSM, birokrat dan juga politikus yang mewarnai
kebangsaan kita sekarang. Harus diakui, hal ini tidak akan mungkin terjadi
tanpa contoh dan dukungan Gus Dur ketika itu.
Nilai ketujuh: Kesederhanaan
Budayawan Ahmad Tohari bercerita
langsung kepada penulis dulu di Banyumas, tentang kesederhanaan Gus Dur ketika
menginap di rumah kang Tohari. Gus Dur tidak pernah betah tidur di atas bed,
sehingga beliau selalu minta untuk digelarkan karpet di lantai untuk tidur
beliau. Menurut beliau, Gus Dur memberikan contoh nyata bagaiamana kita
bersikap sederhana dan tidak mau merepotkan orang rumah. Padahal, Gus Dur
adalah tokoh nasional, tetapi jiwa kesederhanaannya tak pernah luntur. Selain itu,
slogan Gitu aja kok repot! juga
mencerminkan watak Gus Dur yang tidak mau memperumit masalah. Mungkin, ini
sejalan dengan prinsip nabi Yassiruu
walaa tu’assiruu, masalah itu seharusnya disederhanakan dan dipermudah,
bukan malah dipersulit.
Nilai kedelapan: Ksatria
Ketika menjadi ketua Umum PBNU (dan
ditindaklanjuti dengan keinginan untuk mencabut Tap MPRS yang mengatur tentang
larangan ajaran komunisme dan leninisme di Indonesia sewaktu beliau menjadi
Presiden), Gus Dur menyatakan permohonan maaf kepada semua kelompok yang menjadi
korban yang dituduh sebagai eks PKI. Mengapa Gus Dur seberani itu? Karena Gus
Dur mengerti sejarah dulu, dimana banyak orang-orang NU (khususnya Ansor) yang
membantai dan membunuhi orang-orang PKI pada tahun 66-67. Gus Dur berinisiatif
memohon maaf, karena memahami seberapapun benar alasan orang NU dulu, tindakan
pembunuhan itu tidaklah etis untuk ditutup-tutupi.
Gus Dur mengajarkan kita untuk
bersikap ksatria, mengakui kesalahan kita dan mau memohon maaf kepada sang
korban. Tentu pertimbangan Gus Dur tidaklah sesederhana ini, tapi minimal
beliau memberika kita contoh konkrit tentang sikap ksatria, meskipun kemudian
beliau harus menghadapi gelombang protes dan bahkan konflik berkepanjangan
dengan paman beliau, almarhum Pak Ud atau KH Yusuf Hasyim dari Tebuireng.
Nilai kesembilan: Kearifan lokal
Nilai tearkhir ini, membuat Gus Dur
kelihatan sebagai orang yang luwes, dimanapun beliau berada, beliau tidak
pernah terlihat kaku apalagi minder dengan sekitar. Ini memberi kita contoh dua
hal. Pertama, banggalah menjadi diri sendiri. Gus Dur dimana-mana selalu pakai
peci, berbicara dengan gaya bahasa dan pemikiran beliau. Beliau tidak harus
repot mengikuti protokol istana yang super rumit, beliau bebas mengekspresikan
diri dimanapun dan kapanpun karena beliau mengerti identitas dan watak beliau
sendiri. Kedua, hormati nilai-nilai disekitar anda hidup. Gus Dur luwes bergaul
dengan siapapun, tidak repot dengan kondisi sekitar, dan menghormati budaya
lokal.
Ada sebuah cerita lucu yang
disampaikan mbak Alisa. Ketika awal tahun 2000, beliau masih jadi presiden dan
mencoba bertahun baru-an di Papua. Ketika malam beranjak mendekati pergantian
tahun baru, Gus Dur heran, kenapa acara tahun baru di Jayapura itu sepi sekali.
Tidak ada keramaian dan kembang api lazimnya di tempat lain di Indonesia. Percakapan
imajinernya mungkin seperti ini;
Gus Dur : “Pak Gubernur,
kenapa malam tahun baru di Jayapura ini sepi sekali?”
Gubernur : “Anu Gus,
karena ada bapak disini makanya kami perintahkan untuk tidak
diadakan perayaan.”
Gus Dur : “Lho kok bisa
begitu? Silahkan saja merayakan, wong saya disini hanya
pengen liat saja.”
Gubernur : “Kami tidak
enak dan berusaha menghormati panjenengan disini Gus.”
Gus Dur : “Memangnya apa
yang biasa dilakukan orang-orang sini ketika tahun baru?”
Gubernur : “Kami biasa
mabuk-mabukan semalam penuh Gus.”
Gus Dur : “Oalah (tertawa)”.
“Ya sudah, silahkan lah kalian merayakan dengan cara
kalian sendiri, jangan karena ada saya
terus acara kalian jadi bubar.”
Gubernur : “Terima kasih Gus,
akan saya perintahkan untuk seperti biasa.”
Epilog
Meneladani Gus Dur adalah sebuah
proses yang tidak akan berhenti. 9 nilai yang berhasil dirumuskan oleh para
pegiat Gusdurian ini setidaknya bisa memberikan perspektif yang tepat untuk
tindakan konkrit peneladanan itu. Tentu saja, masih terbuka dan masih mungkin
untuk mengeksplorasi semua keunikan dan contoh prilaku Gus Dur, meskipun kita
juga tetap mesti sadar, bahwa Gus Dur tetaplah seorang manusia biasa yang tidak
bisa lepas dari salah dan dosa. Peneladanan ini bukanlah dimaksudkan untuk
menjadi kultus, tapi lebih kepada penanaman nilai diri yang bisa berguna untuk lingkungan
sekitar dan kebangsaan kita kedepan.
*
Penulis adalah Anggota biasa Komunitas Gusdurian Jogja, sekarang lagi kuliah di CRCS UGM dan nyantri di PP Aswaja Nusantara Mlangi, Sleman.
Penulis adalah Anggota biasa Komunitas Gusdurian Jogja, sekarang lagi kuliah di CRCS UGM dan nyantri di PP Aswaja Nusantara Mlangi, Sleman.
Komentar
Posting Komentar
Thanks for your comment. God bless you always. :)