Langsung ke konten utama

Negosiasi Identitas


Apa yang seharusny dilakukan seseorang untuk melayani kepentingan sosial diluar kehidupan dirinya sendiri sehingga dia bisa disebut sebagai seorang yang berguna bagi lingkungan sekitar? Atau satu pertanyaan yang lebih konkrit, apa yang mesti kita perjuangkan terlebih dahulu, apakah identitas kita sebagai individu ataukah sebagai mahluk sosial yang harus kita majukan sebagai perilaku kita par exellence?

Dua pertanyaan diatas adalah hal yang jamak terjadi, sebagai manifestasi pertentangan antara identitas individu dengan sosial kita sebagai manusia. Ambil contoh, perdebatan yang menguar ketika Bang Haji  Rhoma disangka melakukan ceramah berbau SARA di jakarta, terkait kewajiban muslim untuk memilih pemimpin yang seiman. Meski definisi seiman ini sangat parsial dan subyektif, kita mengerti, bahwa Rhoma (yang kemudian diputus bebas oleh PANWASLU DKI) membela diri dengan menyandarkan identitas dirinya selaku muslim, sebagai preferensi untuk menentukan kandidat yang didukungnya. Disini, Rhoma telah menghilangkan dimensi dirinya sebagai mahluk sosial sehingga beliau merasa oke-oke saja dan bahkan mengiyakan jika ceramahnya mengandung SARA.

Penyandaran diri pada identitas personal (dan kelompok primordial) itu sah-sah belaka. Akan tetapi, persoalan yang kemudian mengemuka adalah, sikap itu akan kontraproduktif dengan peran dan kewajiban kita sebagai mahluk sosial. Kita tentu tidak bisa seenaknya sendiri, merasa benar melakukan segalanya hanya dengan mengatakan bahwa “ini hak dan kewajiban saya”, sebab kalimat pembelaan ini selalu berdimensi individual dan mengesampingkan dimensi sosial yang kita hadapi. 

Disini, kita dituntut untuk arif dan bijaksana menggunakan alasan berbau identitas diri yang bersifat parsial dan subyektif, karena keberadaan kita juga tidak akan terlepas dari lingkup sosial yang heterogen dan kompleks. Dibutuhkan sikap yang lebih luas dan objektif lagi agar tidak terjadi gesekan non produktif agar tetap terjaga dan terlindunginya semua kepentingan-kepentingan individu masyarakat. Logikanya, jika kehidupan sosial dipahami sebagai kumpulan-kumpulan individu yang berbaur dan bekerjasama, tentu akan lebih elok jika masing-masing dari kita mampu menepikan ego individual masing-masing.

Menemukan alternatif
Tetapi, bagaimana menjembatani kedua konflik yang selalu berseberangan diatas? Secara sekilas, akan terlihat nada pesimis melihat kenyataan dari contoh bang haji yang malah mengakui bahwa ceramahnya bermuatan SARA (tentu dengan sekian alasan). Pesimisme itu muncul sebaba rasanya tidak ada celah yang bisa memadukan kedua kepentingan itu. Individu tidak mungkin bisa melepaskan ego individualitasnya, sementara kepentingan sosial juga tidak akan dan tidak mampu memberi ruang yang benar-benar merdeka untuk ekspresi individu. Dalam lingkup sosial, Individu dituntut untuk bisa memahami dan menghormati individu yang lain, sebagai jaminan adanya keharmonisan bersama.

Tetapi jangan terlalu kuatir, perbedaan mendasar itu bisa dikolaborasikan tanpa harus mengorbankan masing-masing kepentingan itu. Yang pertama, keduanya baik dimensi individu maupun dimensi sosial sebenarnya adalah sama-sama identitas yang melekat pada manusia itu sendiri. Contoh, jika saya adalah individu muslim yang keturunan jawa, saya juga punya identitas sosial yang lebih luas lagi sebagai muslim sunni atau seseorang berbangsa indonesia. Kedua identitas saya ini seharusnya tidak perlu dipertentangkan, tapi seharusnya dinegoisasikan. Sebab jika tidak dinegoisasikan, maka akan terjadi konflik yang tidak akan pernah berakhir sampai salah satu ada yang menang dan kalah. Dan jika sudah berbicara menang dan kalah. Seperti kata pepatah, menang jadi arang, kalah jadi abu. Hakekatnya tidak ada yang untung, semuanya rusak dan rugi besar.

Menegosiasikan antara individu dan sosial itu gampang-gampang susah. Jhon Rawls misalnya menyodorkan teori nalar publik (public reason) untuk menjembatani perbedaan-perbedaan itu. Secara mudahnya, Rawls berusaha mendorong individu untuk bersikap dan berargumentasi di ranah sosial dengan menggunakan simbol-simbol dan argumen primordial yang sudah di rekayasa sedemikian rupa sehingga ia tidak lagi merepresentasikan identitas individu tersebut. 

Sebut contoh, jika menurut islam hukum pencuri adalah potong tangannya, maka seorang muslim dituntut harus merubah argumentasinya dalam pergaulan sosial (baca: hukum dan negara) dengan simbol dan preferensinya yang berbau islami menjadi simbol dan argumentasi yang bisa diterima publik. Jika dia berbicara dengan bahasa “islam” an sich, tentu dia tidak akan atau sulit dipahami oleh individu lain yang non muslim. Disini perlunya sang muslim ini merubah bahasa “islami” nya (semacam istilah: Hukum rajam), dengan bahasa lain yang bisa dipahami oleh yang lain. Sang muslim bisa berbicara dari perspektif keadilan misalkan, dimana sang korban juga mesti dipertimbangkan perasaannya serta adanya efek jera untuk mengulangi tindak pencurian itu.

Tetapi mesti juga diakui bahwa tawaran Rawls itu masih samar, dan rasanya sulit diterapkan pada masyarakat yang masih memegang teguh identitas pribadi atau kelompoknya. Alternatif lainnya, adalah dengan menggali nilai-nilai universal yang terdapat pada masing-masing individu dan kelompok tersebut. Setiap individu atau kelompok tidak perlu menanggalkan baju identitasnya sebagaimana yang disarankan Rawls, tetapi lebih pada kemampuan masing-masing untuk berdialog dan menemukan nilai universal yang bisa disepakati sebagai landasan pergaulan bersama (contoh yang bagus dan mendalam adalah analisis Bhikhu Pareh dalam bukunya, Rethinking Multiculturalism).

Penutup
Kesediaan bernegoisasi dan berdialog ini membutuhkan kemauan besar untuk melihat dan memahami potensi diri yang bisa dijadikan sumbangsih besar untuk landasan nilai bersama. Selain itu, ia juga membutuhkan sikap terbuka dan rendah hati untuk mau menerima usulan (dan kebenaran?) dari pihak / identitas lain. Pada tataran inilah, seharusnya orang sekelas Rhoma Irama mampu memahami kemajemukan identitas sosial yang beliah hadapi ketika berceramah didepan jamaah tarawihnya. Dan rasanya, ini masih menjadi persoalan besar yang belum bisa dilakukan, meskipun oleh para elit kelompok kita sendiri.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...