Langsung ke konten utama

Sebab Sudah


Dan rindu
dan rindu
menyeretku kaku menuju samsara
sebab kepahitan yang kemarin
sudah mampus dilahapnya

Dan rindu
menyuapiku racun madu
karena lezat kata cinta
tak sanggup lagi menopang pilu

Dan rindu
membiarkanku biru
lemah tak henti memelukiku
dengan sebelah tangannya yang gontai
menghalau galau dan luka

Dan rindu
Serta rindu
biarkanku abu
diremuk redam rasa


Ini dunia
Malaikat-malaikat
berbaris-baris
rapalkan puji
dan serapah

Ini dunia
parah meraja
sedang titah baginda
menjadi sirna

Dunia o dunia

Malaikat-malaikat
berbaris-baris
rapalkan puji
dan serapah

Sedang wajah-wajah bisu
senantiasa kalut
menunggu maut

Puisi Indah
Jika kau tulis puisi
maka ejalah namaku
dengan tinta dan darah
yang menggelegak di gelora batinmu

sungguh, betapa binal dunia berputar
meninggalkan kita yang sendiri
mengasing dan terasing
menggilas dan tergilas
hilang tanpa bekas

Jika kau tulis puisi
maka ejalah namaku
agar luluh semua gundah
dan purna semua susah

Sebab sudah
bertahun sudah
kupegangi janji dan sumpah
agar tak habis kelelakianku
digerus waktu dan ruang
yang tanpa ampun
pisahkan pandang kita

lama, kupandangi wajahmu
kucari rindu dan dendam
sebab sudah lama
kusimpan erat semua rusuh
dan resah
menggaharu dalam wangi subuh
yang tak lelah merekah
meski fajar sudah dahulu mangkat
tanpa gemerlap siluetmu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...