Belum kering kubur R, anak perempuan dari
Jakarta berumur 12 tahun yang diduga diperkosa dengan brutal sehingga
membuatnya sakit menahun sampai meniggal, kita lagi-lagi dikejutkan dengan
statemen super ngawur dari ruang DPR
terhormat kita, seorang calon hakim agung RI, mengatakan bahwa pelaku perkosaan
tidak perlu dihukum mati, dengan guyonan garing; karena baik yang diperkosa
apalagi yang diperkosa itu sama-sama menikmati.
Astaga! Komedi apa lagi yang ditontonkan
secara telanjang di depan ruang public kita. Fit and proper test calon Hakim
Agung adalah kegiatan resmi kenegaraan, menampilkan sosok-sosok pemimpin yang
seharusnya cerdas dan bijak, tapi lihat, bahkan para anggota DPR pun banyak
yang tertawa mendengar jawaban ngaco
pak calon hakim agung ini.
Bisa diduga kemudian, kontroversi
merebak, pak calon Hakim Agung ini jelas saja mendapat badai hujatan dan
kritik. Jejaring sosial seperti Facebook (satu-satunya jejaring sosial yang
penulis ikuti) juga ramai membahana dengan postingan berita dan komentar yang
beragam, mulai dari yang kasar sampai yang mencoba untuk lebih akademis.
Bahkan, keluarga pak calon hakim agung, yang kebetulan punya 3 putri, juga ikut
mengkritik dan menelpon bapaknya, mengatakan bahwa statemen itu bukan seperti
bapak mereka yang mereka kenal.
Pak calon pun menggelar jumpa pers
untuk mengklarifikasi. Beliau mengakui keteledoran ucapannya, berjanji untuk
meminta maaf melalui media massa, dan merasa menyesal sudah mengeluarkan
statemen ngawur itu. Akan tetapi,
adakah itu hanya bisa selesai disitu, cukupkah pak calon meminta maaf dan menyesali ucapannya tanpa ada langkah
konkrit pertanggung-jawaban itu?
Jawabannya tentu saja TIDAK!
Tanpa mengesampingkan permohonan maaf
dan penyesalan dari pak calon, kita terlebih dahulu harus memahami ruang dan
waktu apa yang menjadi panggung dari kejadian menyedihkan ini. Persoalan ini
penting menurut saya, karena disitulah orang akan bisa mengukur sejauh mana
sebuah persoalan bisa dituntaskan dengan tepat. Ketepatan disini menjadi
penting, karena sering kita mendengar kejadian yang mengiris nurani, seperti
kasus mbok minah di Banyumas yang harus dibui hanya gara-gara mengambil 3 buah
biji kakao yang sudah jatuh ketanah. Atau kasus penebangan sejumlah pohon bambu
yang membuat si penebang menjadi pesakitan di Magelang, sementara di sisi lain
kita melihat drama yang berbeda, seperti ada anak menteri yang meski sudah
menewaskan 2 orang tetapi dia masih saja bisa bebas berkeliaran. Ata vonis
korupsinya sang mantan Putri Indonesia yang hanya diganjar 4,5 tahun meskipun
kekayaannya terbukti berlipat sampai 30000 persen selama dia menjabat jadi
anggota Banggar DPR.
Mari kita pahami prinsip pertama dulu
dari kasus pak calon ini. Pertama secara prinsip ruang publik, pak calon
jelas-jelas menempati pojok istimewa di system kenegaraan kita. Ia terjadi
ketika sedang ada tes kelayakan dan kepatutan untuk jadi Hakim Agung Republik
Indonesia. Dari sini kita bisa menyadari, posisi DPR dan Hakim Agung itu begitu
vitalnya untuk bangsa kita. Pendek kata, mereka lah yang menentukan maju dan
mundurnya bangsa ini dengan kewengan kehakiman dan legislasi yang begitu besar.
Jadi tidak sepantasnya kesalahan itu terjadi. Tidak pantas seorang calon hakim
agung melontarkan statemen yang tak peka dengan korban atau mayoritas perempuan
di negeri ini. Dan tak pantas jika para anggota dewan yang terhormat itu juga
ikut tertawa mendengar statemen tersebut! Pada titik ini, statemen pak calon
dan ketawa membahanya para anggota dewan itu benar-benar menyedihkan! Tidak
pantas dan tidak patut untuk dilakukan di ruang publik yang didengar jutaan
warga Indonesia.
Kedua, ada logika patriarki yang
kokoh mencengkeram dibalik kepala pak calon hakim agung ini. Tidak bisa
dimungkiri, statemen yang menyatakan orang yang diperkosa itu menikmati itu
sungguh-sungguh keterlaluan. Saya berani bertaruh, kata-kata ini muncul karena
pak calon terbiasa melihat kondisi perempuan yang dianggap lemah, mereka
dipandang tidak mampu untuk melawan, sehingga jalan akhirnya ya mereka, para korban perkosaan itu
harus ikut menikmati. Inilah bentuk subordinasi seorang laki-laki terhadap
perempuan, sehingga laki-laki pun merasa berhak untuk menyuruh perempuan untuk
menikmati apa yang sungguh menyakitkan buat mereka. Adakah ini irrasional??
Tentu saja, tapi itulah nyatanya. Sama irrasionalnya dengan para dewan yang
justru malah tertawa mendengar statemen gila tersebut.
Ketiga, melihat kondisi seperti itu,
kita tentu mafhum dengan tuntutan orang agar pak calon hakim agung ini tidak hanya
minta maaf dan menyesali perbuatannya. Harus ada bentuk konkrit dari penyesalan
dan permaafan itu. Ini memang wilayah etika, tetapi itu yang memang, menurut
saya, penting untuk dilakukan oleh para elit negeri ini. Tindakan kongkrit,
tidak hanya sekedar ucapan. Bentuk konkrit itu salah satunya dengan pengunduran
diri pak calon dari seleksi calon hakim agung ini. Ini hal yang masih sulit
atau jarang terjadi di Indonesia, pemunduran diri seoran pejabat publik ketika
dia telah melanggar aturan umum dan etika moral yang dipunyai bangsa. Karena
kalau tidak seperti itu, kita akan melihat para pemimpin yang tak ragu-ragu
untuk menyesali dan meminta maaf atas kesalahannya, tapi masih ngotot
mempertahankan jabatan dengan mati-matian dan segala cara.
Kasus pak calon ini memang
menyedihkan, dimana kita sekali lagi dibuat sadar bahwa para pejabat publik
masih saja belum bisa menjadi contoh yang baik dan benar buat kita, para warga
yang dipimpinnya. Ada kegeraman, tapi juga keprihatinan yang menyayat hati.
Tentu saja, kita harus memaafkan apa yang sudah dimintakan maaf oleh pak calon
ini. Tetapi seyogyanya itu tidak berhenti disitu. Dibutuhkan sikap ksatria
dalam ucapan dan tindakan, jantan untuk mengakui kesalahan dan bersedia
melakukan tindakan konkrit sebagai konsekuensi dari kesalahannya.
Pepatah mengatakan, mulutmu adalah harimaumu. Ucapan kita akan sangat berpengaruh dalam hidup kita sendiri. Tetapi Sigmund Freud juga mengatakan bahwa apa yang kita ucapkan tanpa sadar adalah kondisi alam bawah sadar yang kita represi, kita sembunyikan supaya orang tidak tahu. Mudah-mudahn, kasus pak calon hakim agung ini tidak akan terulang, dan tidak ada lagi tawa lebar anggota DPR RI jika mendengar “ketidak-sadaran” itu. Mengikuti Freud, "ketidak-sadaran" itu bukan kondis ketidak-warasan, tapi itu adalah bentuk kewarasan yang direpresi, sehingga muncul dengan tanpa sadar.
Jadi, wahai pak calon Hakim Agung, kapan anda mau mengundurkan diri?? jadilah ksatria!
Jogjakarta, 16-01-2013
Komentar
Posting Komentar
Thanks for your comment. God bless you always. :)