Langsung ke konten utama

Uje dan Tangis Rindu

Sekarang, Ustad Jeffry Al Buchory sudah bersemayam nyaman di Alam Barzah sana. Jenazahnya boleh mati terkubur, tapi ceritanya masih senantiasa hidup. Meski sementara, setidaknya kita semua menyadari satu hal, kematian Uje sudah membuat ribuan orang tertunduk di Istiqlal, memacetkan jalan-jalan jakarta yang panas. Aku tidak begitu mengenal Uje, juga bukan fans beratnya. Tapi aku menyukai gaya beliau berceramah, memikat dan penuh semangat. Ustad Gaul julukannya, segaul motor sport yang menemani saat-saat terakhirnya.

Uje memang fenomenal. Dari sejarah hidup yang dulunya, katanya, penuh dengan lumpur dosa, beliau menjadi permata yang bersinar terang. Menggebrak dunia perdakwahan, terutama di TV, setelah kesibukan Zainuddin MZ yang menjadi politikus. Uje memang berbeda. Dia besar di dunia panggung, selebritis dan gemerlap kota metropolitan. Mungkin disitu kelebihan beliau, mampu mengisi celah yang terlalu lama kosong karena ketidakbisaan para dai menjadi trendsetter di dunia penuh kerlip itu.

Tapi buatku, Uje lebih fenomenal ketika beliau dimakamkan. Ribuan orang menyemut, melepas kepergiannya. Baru terasa saat itu, kita kehilangan mutiara itu. Kita kehilangan sosok yang sekian lama menjadi teman kaca kita. Uje pergi mennggalkan tangis dan mendung nan kelam di sekian ribuan mata para pelayat. Mereka datang untuk menjadi saksi, bahwa Uje memang figur yang senantiasa mereka rindukan, dan akan senantisa dirindukan. Pemakamannya adalah pentahbisan itu semua. Uje resmi menjadi milik kita, mutiara kita yang tak akan hilang ditelan jaman.

Tetapi mengapa ada tangis dan rindu yang bergumul pada saat itu? dan kenapa harus Uje? kenapa harus seorang ustad? Jawabnya sederhana. Kita adalah bangsa yang miskin teladan. Kehausan akan figur monumental untuk spirit dan jiwa. Kita mencari sekian banyak orang yang bisa mengobati dan mengobari dahaga kita akan keteladanan. Kita melihat pemimpin, birokrat, akademisi, politikus dan bahkan guru ngaji yang sangat jauh dari nilai ideal keteladanan. Nilai keteladanan itu sederhana saja buatku. Yakni dimana kita bisa melihat mereka sebagai cermin bening untuk melihat semua kesalahan dan kekotoran hati dan perilaku kita sendiri. Melihat seseorang, yang tiba-tiba akan membuatmu tersadar, betapa engkau butuh berbalik arah atau diam sebentar untuk mengoreksi diri sendiri. Kita miskin dengan orang-orang seperti itu.

Apakah Uje memberikan itu semua? Wallohu a'lam. Tapi setidaknya, melihat ribuan orang yang melayat hadir, menangis dan sendu dalam teriakan takbir dan kalimah tahlil-nya, kita harus mengerti. Uje meninggalkan bekas yang mendalam untuk mereka. Ada gambaran syahdu nan membentang, bahwa hidup senantiasa akan berakhir. Kita akan mati, sendiri dalam gelap alam kesendirian. Alangkah bahagianya, jika ada ribuan pengantar yang melepasmu dengan tangis dan rindu tertahan? Alangkah ngerinya, jika kita mati dan sepi pengantar. Kita pasti akan amat sangat kesepian.

Kematian, adalah pelajaran terdalam yang diberikan Tuhan untuk manusia yang memuja hidup. Tidak ada hidup yang abadi. Kematian akan menjemput kita suatu saat nanti, tanpa pamit tanpa permisi. Urip iku mung mampir ngombe (hidup hanya untuk berhenti ambil minum), hidup pasca hidup itulah yang sejati. Menemui Tuhan, atau menemui yang Maha Transendental disana.

Semoga kedamaian selalu bersama Uje disana, dan juga kita disni. Amieenn. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...