Langsung ke konten utama

Singapore First

Singapura, negeri pertama yang akhirnya menjadi pijakan luar negeriku. Negerinya kecil, dekat sekali dengan Indonesia. Tapi jangan kira, budaya kita benar-benar jauh berbeda. Contohnya, disini tidak ada orang yang menyeberang jalan sembarangan, karena ada rambu sendiri buat para penyeberang itu. Disini juga kebersihan terjaga sekali, minim sekali ada sampah yang bergeletakan. Galibnya, semua serba teratur dan otomatis. Tidak seperti di Indonesia, kita bisa seenaknya sendiri menyeberang jalan, menabrak rambu-rambu, buang sampah sembarangan, dan aneka ketidak-aturan yang dibutuhkan dalam hidup. Ini bukannya merendahkan Indonesia, bagaimanapun rinduku tetap untuk Indonesia selalu haha.

Seharian tadi, bersama dengan teman-teman peserta AGSF (Asia Graduate Student Forum) ke 8, kami menjalani hari pertama meeting di ruang seminar ARI/NUS (Asia Research Institute/National University of Singapore), briefing dan pengarahan singkat, dilanjutkan perjalanan ke MOM (Ministry Of Manpower alias Kementerian Tenaga Kerja). Bertemu dengan sekian banyak fellows, jumlah kami ada 35 orang. Kami berasal dari India, Kamboja, Filipina, Vietnam, Japan, Korea Selatan, Thailand dan Indonesia. Indonesia menjadi peserta terbanyak, 11 orang. 4 orang dari UGM, 2 dari UI, 1 dari UNAIR, dari UIN Bandung, dan Udayana, serta 2 lagi dari mahasiswa Indonesia yang belajar di Malaysia dan Thailand.

Di MOM, kami dibagi per grup untuk mengurusi permohonan visa dan tempat tinggal di Singapura. Grupku terdiri dari 4 orang Indonesia, 1 Myanmar dan 1 Filipina. Untuk menuju MOM, kami menggunakan MRT (Mass Rapid Transportation) dengan membeli kartu Ez-Link seharga 12 dollar. Aku sendiri karena membawa kartu warisan dari Mas Endy, senior di CRCS yang dulu ikut ARI, hanya perlu membeli isi ulang seharga 10 dollar. Kartu Ez-Link ini bisa dipakai untuk bus dan MRT setahuku, dan bisa diisi ulang setiap kali habis isinya.

Dari MOM, kami berlima, 4 orang Indonesia dan 1 teman Korea mencoba untuk mbolang. Tidak langsung balik ke asrama kami di PGPR (Prince George Park Residence) di Kent Ridge, kami malah pergi ke Farrer Park. Bertindak sebagai pemandu kami, mas Adrian dari Jurusan Sejarah UGM yang sudah pernah mbolang sendiri naik MRT disini. Well, jadilah kami berlima naik MRT ke Farrer Park, tujuan utama ke Mustafa Centre, semacam mall kecil yang katanya Adrian "murah-murah harganya." Farrer Park ada di dekat Little India, yang bisa ditebak, kebanyakan keturunan India. Di Singapura rupanya banyak juga terdapat kantong-kantong masyarakat berdasarkan suku bangsa, terlihat dari namanya, seperti Little India, China Town, atau Holland Village.

Memang, harganya ternyata murah-murah, dan disana ada Masjid serta makanan halal. Harus diakui, di Singapura ini tidak semudah mencari masjid di Indonesia. Dan juga makanan halal. Di Kantin Asrama kami, sebenarnya disediakan makanan Halal (dengan tag; Halal food), tapi rupanya ini makanan cepat habis. Pertama kali aku ke kantin dan harus memilih, waduh saking bingungnya, aku mencoba beli Salad Mango, Mangga yang di iris dan ditambahi semacam acar dan bumbu seadanya. Ini gara-gara saking takutnya beli makanan daging hewan yang tidak disembelih pake bismillah hehe. Well, menemukan masjid, surau, serta makanan halal merupakan hal yang menyenangkan sekali. :)

Sepanjang perjalanan, kami banyak bergurau, bercanda dan terutama sekali ngajak ngobrol si anak korea yang bernama Park Jae Min (Kalau gak salah haha). Aku lebih suka memangggilnya Park, meskipun dia bilang bahwa di Korea ada sekitar 22 persen penduduk yang berawalan nama Park. Seperti Park Ji Sung, dan Park-Park lain. Orang korea ini seorang arsitek, dan sudah menikah, meskipun wajahnya masih tampak muda. Dia senang sekali diajak ngobrol dan ditanyai macam-macam tentang negerinya.

3 orang lain dari Indonesia adalah sebagai berikut. Pertama si Adrian, sang pemandu kami dan pemberi inisiatif untuk mbolang. Ini anak sejarah yang pernah jadi asdos-nya pak Shri Heddy Ahimsa, Professor arkeologi terkenal dari UGM. Orangnya tinggi besar, ganteng dan sudah biasa ke luar negerinya. Berasal dari Tulungagung, ia sering kami ledek sebagai orang Arab, melihat postur tubuh dan bentuk hidungnya yang melengkung kebawah. Dia pada awal bulan juli nanti mau ikut seminar di Portugal, seminggu disana. Dia aktif di lembaga yang konsern untuk isu konservasi kebudayaan Indonesia. Cerita yang menarik darinya salah satunya tentang Majapahit, yang menurutnya masih diselimuti kabut yang sengaja ditutup-tutupi sehingga sampai sekarang kita masih belum punya kata sepakat terhadap banyak hal tentang situs Majapahit di Trowulan.

Kedua, Mas OBing Katubi dari UI. Orang LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) ini wajahnya mirip Jokowi, dan kemejanya juga kotak-kotak khas Jokowi. Orang ini berasal dari Sunda, dan periang. Sukanya bergurau dan menjahili teman yang sama-sama tuanya dari Lombok. Kantornya ada di Jalan Gatot Subroto Jakarta, berhadapan dengan Kantor Kemenakertrans. Dia begitu sering ke luar negeri untuk seminar dan riset, maklum orang LIPI. Cita-citanya adalah pengen nyoba naik moda sungai yang melintasi kota. Dia mengajak kami nanti untuk menyeberangi Singapura menggunakan kapal via Singapura River yang membelah negara kecil ini.

Ketiga, Mas Salman Farisi, dari Udayana, Bali. Orang Lombok ini yang paling sering diledeki mas Obing, karena sifatnya yang memang lucu juga. Mas Salman ini ketika tiba di Bandara Changi harus menjalani interogasi dan penggeledahan yang panjang, sampai dompetnya ketinggalan di Imigrasi. Sialnya, beliau menyadari hilangnya dompet setelah tiba di Asrama, alhasil dia harus balik ke Bandara Changi untuk mengurusnya. Untung itu dompet tidak hilang dan dikembalikan dengan utuh. Uniknya yang lain, tiap kali masuk atau keluar stasiun MRT, beliau tidak mau naik eskalator, selalu naik tangga. Alasannya biar jadi ramping, tidak kegendutan kayak sekarang hehe.

Well, perjalanan kami cukup menyenangkan. Kami sampai di Asrama PGPR sekitar jam 9 malam dan langsung menuju kamar masing-masing. Aku sendiri segera menuju ke guaku, Blok 24 lantai 2 room F. Menggunakan stop kontak dan kabel internet yang baru dibeli seharga sekitar 10 dollar, akhirnya laptop bututku ini bisa nyala juga. Merenungi kesendirian, di kamar sempit yang cukup hanya untuk satu orang. Di negeri seberang yang gencar menyalakan rindu untuk tanah airku, Indonesia. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

September

September Kulipat mimpi Kukantongi mantra Lihat, tak ada lagi duka Lihat, rindu kita melanglang buana Ini September Saat kita segera berangkat Memula masa singkat, meski Menyimpan geletar gelap Dan sendu tasbih para malaikat Melukis gemerlap esok Merajut dunia Melibas prahara Tak usah bersedih Sedang kesedihan pun mulai bosan Jadi teman kecil kita Mari sulut semangat Biar berkilat semua karat Dan benderang semua pekat Untuk Bunga Kutulis puisi untukmu Agar terketuk segala pintu Dan terbuka segala rahasia Kita benar-benar berbeda Meski Waktu selalu saja cemburu Dengan diam yang kita bicarakan Dengan cerita yang kita bisukan Untuk Bunga Engkaulah penanda baru Pada setiap jejak yang kubuat Untuk memintal ruang waktu Meski jauh menjadi karib Meski koma menjelma titik Demi Waktu Demi Waktu Manusia selalu berada dalam kerugian Demi Waktu Manusia tempat segala kesalahan Demi Waktu Manusia-lah kekasi...

Berotak Tekad, Berhati Malaikat; a Tribute to Undar Jombang

18 September 1965, tanggal kelahiran Undar Jombang. Sudah begitu tua, setua Gus Mujib, Neng Eyik dan Gus Lukman yang sampai sekarang masih menjadi penguasa-penguasa Undar, asyik mengangkangi “tahta kecil” mereka. Tapi Undar memang istimewa, biarpun dihantam krisis kepemimpinan sejak lama, sampai sekarang masih saja berdiri kukuh. Menantang langit, mengukir jaman. Undar selalu ada, tapi sedihnya, mungkin ia juga pelan-pelan menjadi tiada. Timbul tenggelam, mencari pegangan kesana kemari tanpa pertolongan siapapun. Bukan karena tidak ada yang menolong, tapi karena Undar sendiri yang menolaknya. Di stasiun Purwokerto, jam 6 pagi pada akhir Juli 2004, aku bersama seorang sahabat karib menaiki kereta Logawa jurusan Purwokerto – Surabaya. Tiket seharga 21 ribu selalu kupegang erat-erat. Ini perjalananku pertama kali yang jauh dari Cilacap, kota kelahiranku. Hari itu, aku dan temanku berangkat ke Jombang, untuk nyantri dan kuliah di Universitas Darul Ulum Jombang. Sejak melihat brosur ka...

The Toughest Week

I would genuinely say that this week is one of the hardest. Problems visit like a flood, not giving me some time to breathe. However, I fortunately feel okay, considering it as a process that can make me stronger. First, my boss decided to cut off my salary this morning because of giving the batiks that I should make into office's uniform into my friend from Philippine. I did it because I felt bad to invite him to my pesantren without handing over such souvenir. I thought that I can buy it another batiks which has similar pattern (kawung) at Beringharjo market. However, my boss had different view and the result is that he punished me by cutting my salary as a substitute to price of batiks he provided to me. It is rather funny I guess, but I will not make a mess with that small problem. I should fully accept it as a risk when I hand my office's gift into other. Second, I failed to secure some money to pay rent for the house. Therefore, I turn up into the last choice to ...