Langsung ke konten utama

Masjid Syiah dan India Tamil

Dari Merlion, si patung singa bertubuh ikan, kami berempat kembali ke Funnan Mall, nganter si Adrian untuk mencari aksesori Macbook-nya. Sebelum kesitu, kami bertiga (kecuali bang bodrek) memutuskan ke Masjid terdekat untuk shalat Asar dan magrib sekaligus. Melewati Funnan Mall, kami berbelok kanan melewati Park Hotel dan bertanya pada satpam hotel. Dengan ramah, kami ditunjukkan arah masjid yang ternyata ada diseberang belakang hotel Park. Jam menunjukkan pukul 7.05, sementara Magribnya akan mulai jam 7.10 sore. Bergegas kami ambil wudlu dan jamaah diimami mas Salman. Begitu selesai, muncul bapak-bapak berpakaian putih ala Pakistan, berjenggot panjang dan berpeci haji. 2, 3 sampai 6 orang datang. Adzan dilantunkan, dan saat itu kami menyadari, adzan-nya ternyata berbeda dengan yang biasa kami dengar di Indonesia atau di Makkah Madinah sekalipun.

Pasca adzan, langsung iqomah. Kami bertiga bergegas masuk, ngikut jamaah. Ternyata, mereka memang benar-benar berbeda cara shalat dengan kami. Tangan tidak bersedekap, dan tidak ada tumakninah ketika I'tidal. Begitu Sami'allohu liman hamidah, mereka bangkit dari ruku', dan langsung sujud, tanpa diam sebentar baca doa I'tidal. Kami sebagai makmum ya manut saja, yang penting sama jumlah rakaatnya, 3 rekaat untuk Maghrib. Setelah salam, doa, dan tiba-tiba mereka berteriak keras, "Ya 'Ali Ya Husain", dengan bersama-sama sambil memukul keras dada mereka menggunakan telapak tangan. Kami sendiri terperangah kaget, tidak tahu apakah kami juga harus ikut atau malah menimpali dengan mengamini keras-keras, hehe. Walhasil, aku sendiri cuma bengong dan memandangi kelima orang makmum itu dengan penasaran.

Kejutan itu belum selesai, orang yang jadi muazin tadi langsung bangkit dan iqomah. Sembari mendengarkan iqomah, lucunya makmum yang lain pada minum minuman kaleng yang sudah mereka bawa dan ditaruh didepan mereka sejak dari awal. Setelah iqomah, Makmum dan Imam pada langsung bangkit dan takbirotul ihram. Dalam hati aku membatin, "lhow, jangan-jangan tadi bukan shalat maghrib dan akan diulang shalatnya." wkwk. Tak mau berspekulasi, kami mundur pelan mengambil tas dan keluar masjid bertiga. Jawaban sementaranya baru bisa kami dapat diluar.

Diluar, sambil memakai kembali sepatu, Adrian memberitahu kami bahwa mereka Islam Syi'ah, pengikut Ali yang berkiblat di Iran sekarang-sekarang ini. Dia bisa melihat itu dari rangkaian kaligrafi yang menghiasi masjid, dan juga tiadanya mimbar jum'at, karena mereka tidak mengenal kewajiban shalat jum'ah. Aku sendiri sudah menduga itu ketika mendengar mereka meneriakkan Ya Ali Ya Husain itu dengan keras sambil memukul-mukul dada. Tidak ada muslim yang merasa paling lekat dengan Ahlul Bait (Keturunan Sahabat Ali Kw) selain kaum Syiah. Adrian juga bercerita tentang pengalamannya dulu ketika di Surabaya, mengikuti kajian kelompok syiah disana, meski katanya ada perbedaan dengan syiah disini. Mereka juga menyatukan shalat magrib dan isya dalam satu waktu, hal yang masih menurutku masih asing.

Selepas dari Masjid Syi'ah, kami menuju Funnan mall untuk menemui mas bodrek. Menemani adrian membeli peralatan Macbook-nya, bersama mas bodrek ke counter kabel LAN. Lalu menemani mas Salman ke counter Nokia. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Little India via MRT, cari makan dan kembali belanja di Mustafa Center.

Turun di Little India, kami memang bersua dengan mayoritas keturunan India disini. Ada kompleks apartemen yang sepertinya dihuni hanya oleh warga keturunan India. Akan tetapi, India disini bukan India Bolliwood. Mereka India Tamil Nadu. Terlihat dari film Tamil yang diputar via layar LED 29 inch didepan Pujasera tempat mereka makan. Aku sendiri baru ngeh, ketika melihat rata-rata orang keturunan India ini berwajah coklat atau hampir hitam dengan bentuk wajah yang khas. Menurutku, wajah mereka mirip-mirip semua, cowok dan ceweknya. Pinginku bisa lihat keturunan India yang seperti Shah Rukh Khan, Hritihik Roshan atau cewek seperi Preity Zinta atau Kareena Kapoor, sayangnya tidak ada. Tidak ada yang seganteng dan secantik bintang-bintang Bollwood itu hehe.

Puas berbelanja di Mustafa Centre, kami pun kembali pulang via Dhoby Ghaut, ke Harbour Front, dan menuju Kent Ridge. Pukul sebelas malam kami pulang dalam keadaan capek, tapi tetap senang. Pelajaran hari ini, perbedaan adalah hal yang lumrah terjadi di setiap tempat dan waktu. Tak terkecuali agama, dan suku bangsa. Tidak ada realitas yang benar-benar satu untuk menyatakan entitas yang begitu besar dan panjang dari sisi historisnya. Perbedaan tidak harus dipertentangkan, karena sabda nabi, perbedaan adalah rahmat. Mengikuti dawuh Gus Solah Tebuireng,"ya sudah pokoknya kamu yakini apa yang kamu pantas untuk yakini, tidak perlu memaksa orang lain untuk sepaham denganmu." Jadi, aku tidak perlu risau dengan orang Syiah, apalagi harus memaksa orang India Tamil agar tampak seperti Shah Rukh Khan atau Kareena Kapoor. Haha

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...