Langsung ke konten utama

Nyonya Indon

Apa reaksi anda ketika mendengar orang Malaysia atau Singapura menyebut Indonesia dengan kata "Indon"? Marah, jengkel dan tidak suka? atau biasa-biasa saja? Aku lebih memilih reaksi kedua. Bukan karena nasionalisme yang kurang, tapi karena pertemuanku dengan ibu masinis MRT ini, jum'at kemarin.

Secara kebetulan, kami bertiga ketemu ini di MRT. Ibu ini bekerja sebagai masinis di MRT jurusan Harbour Front. Berpakain seragam SMRT (Singapore Mass Rapid Transportation) yang merah hitam, ibu ini nampak melayu karena kerudung yang dikenakannya, dan terutama sekali, logatnya yang khas. Ibu ini sudah mafhum bahwa kami bertiga berasal dari Indonesia. Aku yang penasaran, bertanya darimana asal beliau. Jawabnya bisa ditebak, beliau melayu keturunan Indonesia yang tinggal lama di Singapura. Asalnya dari Kepulaun Riau. Bahkan dia bilang, akhir minggu ini seharusnya dia pulang ke Riau, tapi gagal disebabkan anaknya yang juga jadi masinis MRT tidak bisa mengantar kesana.

Sang anak melarang ibunya berlibur ke Indonesia, karena pertama, tidak ingin membiarkan ibunya pulang sendiri. Kedua, karena di Kepulauan Riau banyak nyamuk. Alasan pertama bisa kami terima dengan biasa, tapi alasan kedua? masih agak asing untuk diterima. Tidakkah nyamuk juga banyak di Singapura sini? bahkan kami, para fellows ARI/NUS diperintahkan untuk berhati-hati karena merebaknya Dengue (Demam Berdarah) sekarang. Jadi, disini dan disana ya tetap sama saja khan?

Keasingan itu terhenti ketika, Ibu itu dengan semangat bercerita tentang sakitnya beliau yang sempat dirawat di NUS. Itu menghabiskan dana 500 dollar, sekadar untuk check in semalam di NUH (National University Hospital). 500 dollar itu setara dengan 6,8 juta rupiah lebih. Padahal ibu ini hanya diperiksa standar dan diberi resep standar juga. Buat seorang masinis MRT, uang segitu lumayan banyak. Apalagi karena Singapura terkenal sebagai kota yang segalanya diukur dengan uang dan uang. No money, no service. Termasuk untuk masalah kesehatan. Mas Salman, teman ARI dari Lombok habis uang 50 dollar, hanya untuk periksa gigi. Kesehatan memang mahal di negeri singa ini.

Karena biaya kesehatan yang mahal disini, maka pola hidup disini juga diusahakan sebersih dan se-higinis mungkin. Dan inilah yang jadi problem kedua si ibu di Indonesia. Ibu ini dengan santainya bilang, bahwa putranya melaarng karena "Indon itu banyak nyamuk," karena kurang bersihnya lingkungan. Kebersihan adalah hal yang jadi living values (nilai kehidupan) orang singapura. Kebersihan itu keharusan disini. Kalau melanggar, siap-siap kena denda yang sebegitu melangit. Contohnya, makan dan minum di MRT (biang sampah di kereta api kita di Indonesia) jelas-jelas dilarang, dendanya 500 dollar kalo melanggar. :)

Bertemu dengan Ibu ini, membuatku berfikir bahwa sebutan "Indon" mungkin tidaklah terlalu diskriminatif, minimal disini, di Singapura. Pertama, Ibu ini bangga mengatakan bahwa Indonesia adalah asal muasalnya. Kedua, Indonesia juga masih perlu banyak berbenah. Persoalan kebersihan merupakan hal yang masih sulit kita lakukan di negeri kita sendiri. Ironisnya, kita, yang muslim selalu bangga memajang tulisan "Kebersihan itu sebagian dari Iman", sementara kondisi kebersihan jauh panggang dari api. Memang, definisi "bersih" untuk kita dan ibu ini mungkin sedikit berbeda, tapi setidaknya kita harus mengakui, kita kalah dalam hal kebersihan yang nampak dimata.

Perjumpaan kami dengan Nyonya Indon ini berakhir ketika beliau pamit dan turun. Oiya, MRT yang kami tumpangi ini sebenarnya tidak ada masinisnya, karena langsung otomatis terpusat dari sananya. Ibu ini hanya berdiri dan melaporkan kondisi AC MRT yang berair, dan ngobrol bersemangat sekali dengan kami bertiga. Jadi, semacam kondektur/petugas resmi yang kebetulan naik saja. :)

Semoga keberkahan dan keselamatan selalu menemani sang Ibu. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...