Langsung ke konten utama

Tentang Cinta

Love hurts whether it is right or wrong... (AL)

Mungkin, tidak ada yang tahu apa yang ada dalam pikiran Avril Lavigne, penyanyi Kanada yang kesohor itu, ketika dia menulis bait ini. Tapi, banyak orang mengakui, Avril memang tipikal penyanyi yang semau gue, dalam artian positif. Avril dulu adalah antitesis untuk mbak Britney Spears yang gemerlap, mesti unyu, genit dan dalam tanda kutip, sempurna. Avril memberi contoh berbeda, engaku tidak harus sempurna untuk menjadi seseorang. Jadilah dirimu sendiri, jadilah seseorang yang apa adanya tapi juga jujur dalam berkarya.

Saya percaya Avril sudah menuliskan kejujuran disitu, di lirik-liriknya. Seyogyanya, begitu juga cara kita membahas cinta. Selama ini, sering harus diakui kalau kita kurang jujur ketika membahas cinta. Sering kita sekadar membahas cinta pada dua sudut yang diametral.

Satu sisi mengidealkan cinta dengan kebahagiaan belaka. Cinta adalah kesempurnaan kebahagiaan yang tiada putus-putus. Cinta menjadi sumber inspirasi yang tak pernah habis untuk digali dan dicari. Kita manusia, sering membahasakan ini dengan nama true love, cinta sejati.

Cinta sejati ini menjadi cita-cita dan harapan yang harus dikejar. Pengejaran itu, melibatkan semua potensi dan fasilitas yang kita punyai sebagai manusia. Sekadar contoh, kika anda seorang remaja muslim, tentu tidak asing dengan kampanye "Indahnya Pacaran Setelah Nikah (IPSN)". Kampanye ini adalah bentuk konter isu terhadap merebaknya fenomena pacaran remaja muslim. Bagi pendukung kampanye ini, pacaran bukanlah fenomena islami, alias jahili. Disini terlihat, logika dua sisi diametral yang coba dikontraskan, antara pacaran dengan nikah, antara islami dengan non-islami.

Pada sisi yang lain, Cinta digambarkan dengan realitas pahit yang tak kunjung jua terselesaikan. Termasuk dalam kelompok ini adalah orang yang selalu merasa tersakiti dalam percintaan, atau cewek/cowok yang ditinggalkan kekasihnya tanpa pamit dan tiba-tiba sudah punya gandengan baru. Contoh nyata adalah munculnya "Generasi Galau Tak Berkesudahan (GGTB)." Kaum GGTB ini biasanya merasa pas banget dengan lagu-lagu galau band genre melayu yang menjamur di Indonesia. Bagi kaum GGTB pula, rapalan cinta mereka seperti curhat-nya Chu Pat Kai, teman baik Sun Go Kong yang terkenal dengan semboyan perih, "Cinta adalah penderitaan yang tiada akhir." Cinta tidak memberi kebahagiaan, hanya kepedihan dan penderitaan belaka.

Pada titik ini, penempatan cinta yang diametral ini cenderung berbahaya. Bila dilihat baik-baik, masing-masing posisi itu menafikan posisi yang lain, membuatnya gelap mata, meski keduanya sebenarnya bermuara sama, yakni keinginan untuk bahagia. Sikap menafikan diri ini karena masing-masing tidak akan bisa menerima ada posisi berbeda yang nampak disana.

Contoh yang nyata, apa iya "Pacaran Setelah Nikah" akan selalu membawa keindahan dan kebahagiaan? Realitasnya pasti tidak seperti itu. Ada pemahaman tersirat yang rasanya menyesatkan disini. Pertama, orang menikah tidak lagi eksis hanya untuk "membalas dendam" apa yang tidak didapatkan karena fase pacaran yang hilang. Kedua, orang menikah tidak selamanya Indah, sebagaimana orang pacaran juga tidak semuanya Indah. Jadi, menikah bukanlah urusan balas dendam, bukan juga tentang Indah dan tidak Indah belaka.

Jalan keluar dari dua kelompok ekstrem ini, cobalah jujur pada diri sendiri, dan terutama pada rasa cinta yang kita miliki. "Entah (anda sedang) benar atau salah, Cinta itu menyakitkan.." tulis Avril. Cinta tidak selamanya sempurna, ia juga bisa membuatmu menangis bombay dan galau meskipun itu dengan orang yang kita anggap sebagai cinta sejati kita. Cinta juga tidak selamanya Indah, sehingga tidak masalah jika orang berpacaran untuk mengukur kebahagiaan mereka nanti dengan orang yang mereka akan nikahi. Cinta tidak mengikatkan diri pada norma aturan tertentu, ia ada dan bebas menjadi dirinya sendiri.

Syair Avril adalah syair seorang realis, sekaligus idealis. Realis karena ia percaya bahwa cinta itu tidak hanya membicarakan benar salah belaka. Ada keadaan yang akan men-drive kesadaran kita tentang benar dan salah dalam cinta. Tetapi ia juga idealis, karena cinta akan selalu menyakiti siapapun yang menghampirinya. Cinta itu menyakitkan, ketika kita mengetahui bahwa orang yang kita cintai sedang mengalami kesusahan. Cinta itu menyakitkan ketika kita tidak pernah bisa menggapai apa yang kita inginkan.

PS. Untuk temanku yang selalu galau, jangan kuatir, hari tidak selamanya mendung dan hujan, tetapi akan berganti menjadi cerah dan menyejukkan. Itulah dinamika hidup, selalu berganti setiap saat. Seyogianya, seperti itulah engkau menghadapi Cinta. :)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...