Langsung ke konten utama

Wasiat

Wasiat
Pandang hatimu
Biar terang semua warna kata
dan Gelap pekat nuansa maya
Tak kita duga
Air kan berpendar biru
Rengkuh lembayung langit
Semata rindu, katanya
Semata restu, teriaknya
Semata beku, jeritnya

Pandang lagi hatimu
Biar terang semua rasa kata
dan Gelap pekat lorong jiwa

Pergilah jauh mengembara
Laksana waktu yang selalu sendiri
Menyusuri takdir diri
Demi sebuah janji
dan seliris asa

Cakra,
Tak usah ragu berkuasa
Bukankah hidup adalah mata air?
Yang takkan mati ditikam surya
Ia mengada, ketika ada
Ia juga kan sirna,
Ditelan kabut masa
Kita kan cari hakikat
Agar lengkap semua harap
Agar purna semua gelap

Ujung dunia
Dari Tanah Merah
Menuju Bukit Timah
Menyusuri Orchard
Mengitari Bugis
Menjejak China Town
Mengakrabi Woodland

Terbentang ceritaku
Padamu yang diam-diam mendendam
Untuk sebuah mimpi yang tak kunjung datang

Sudah kutanyakan pada semua pengendara
Juga pejalan kaki dan pesepeda
"Kemanakah ujung dunia?"
Semua hanya menunduk bisu
Bahkan memandang iba

Seorang kakek, menyentuh lembut pundakku
Ditunjukkannya tangan tuanya kepada horison sana
"Lihat Nak," "Adakah akhir disana?"
Aku menggeleng beku
"Seperti itulah jawab untuk pencarianmu"

Sendiri
Sendiri, kupandangi percik air
Cipratannya mengudaraCiptakan kilau
Meski sekilat burak
Menghentak mata

"Aku tak pernah sendiri", kisahnya
"Aku tak pernah menyendiri", katanya
"Aku tak pernah tersendiri", celotehnya

Kupandangi kilau itu
Ada sejuk yang mengilat
Mengantarku menderu
Mengingati keluh hati
Yang tak kunjung reda

"Aku tak pernah sendiri"
"Aku tak pernah menyendiri"
"Aku tak pernah tersendiri", gumamku sendu.

Mengapa Kita
Keabadian
Adalah harap manusia
Yang takkan pernah hilang

Kebahagiaan
Adalah mimpi manusia
Yang takkan mereka rengkuh
Tak ada syarat
Tak ada pengikat
Tak ada manfaat

Mengapa tak kita bebaskan saja beban ini
Biar hilang mendebu tanpa jejak

Mengapa kita senantiasa ragu mengaku
Bahwa hidup itulah hidup kita
Bahwa hidup itulah keabadian kita
Bahwa hidup itulah kebahagiaan kita

Singapura, 14 Juni 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

September

September Kulipat mimpi Kukantongi mantra Lihat, tak ada lagi duka Lihat, rindu kita melanglang buana Ini September Saat kita segera berangkat Memula masa singkat, meski Menyimpan geletar gelap Dan sendu tasbih para malaikat Melukis gemerlap esok Merajut dunia Melibas prahara Tak usah bersedih Sedang kesedihan pun mulai bosan Jadi teman kecil kita Mari sulut semangat Biar berkilat semua karat Dan benderang semua pekat Untuk Bunga Kutulis puisi untukmu Agar terketuk segala pintu Dan terbuka segala rahasia Kita benar-benar berbeda Meski Waktu selalu saja cemburu Dengan diam yang kita bicarakan Dengan cerita yang kita bisukan Untuk Bunga Engkaulah penanda baru Pada setiap jejak yang kubuat Untuk memintal ruang waktu Meski jauh menjadi karib Meski koma menjelma titik Demi Waktu Demi Waktu Manusia selalu berada dalam kerugian Demi Waktu Manusia tempat segala kesalahan Demi Waktu Manusia-lah kekasi...

Response Paper to Identity and the Politics of Scholarship in the Academic Study of Religion: Introduction (Academic Study of Religion )

Identity and the politics of scholarship explain the correlation between science and study of religion according to identity’s perspective. This correlation arises among the scholars of religion by facing at least two conditions: the first is facing the universal value of scientific knowledge; the second is facing the problem within their identity itself. The first correlation is facing universal value of scientific knowledge. Scientific knowledge as an official truth is based on the value of enlightenment, Reason. Reason is the essence of human being as universal value which exists within human life. The universal claim then bore the claim truth which only can be reached by scientific knowledge. The scientific knowledge has critics because its methodology excludes other form or aspect within its object of research. The historicity of every object of research is one of the earliest perspectives which criticize the universal value of scientific knowledge claims such as ahistoric and...

Malaysia, the second

Mendarat di KLIA (Kuala Lumpur International Airport), segera saja mata kami semua disambut dengan jejeran pesawat Malaysia Airlines (MAS) dan Airasia, dua pesawat kebanggaan orang Malaysia. Sebelumnya, ketika bersiap-siap mendarat, hanya sawit dan sawit yang menjadi pandangan kami. Memang, Malaysia sedang bergiat memacu penanaman sawit, agar bisa menyaingi Indonesia, sang pemimpin nomer satu produksi sawit sedunia. Menjejakkan kaki di KLIA ini, adalah kesempatan keduaku menjejak negeri jiran ini. Mei atau Juni kemarin, aku sudah sempat masuk ke negara ini, meski hanya di Johor Bahru, negara bagian yang berbatasan langsung dengan Singapura. Artinya, Pasporku pun sudah dua kali di stempel oleh negara serumpun kita ini, hehe. Seperti sudah pernah kutulis, bandara internasional adalah wajah pertama yang akan menyambut anda di suatu negara. Ia bisa jadi cerminan baik dan buruknya pelayanan di sebuah negara. Pada kondisi ini, Indonesia mesti mengakui kualitas pelayanan yang lebih b...