Langsung ke konten utama

Kuah Kari India

Makan siang di teras kantin, sendirian sambil memandangi hujan lebat itu sungguh mengasyikkan.

Kuputar pandangan ke segala penjuru, semua orang memilih makan didalam kantin. Aku menyukai suasana hujan, dan aku menyukai kesendirian. Oia, ini kantin yang biasa kami sebut, Kantin ARI (Asia Research Institute), karena letaknya yang dekat dengan gedung ARI di Bukit Timah Campus, NUS. Kalau anda suatu hari nanti kesini, menjadi visiting scholar (amieen..) atau turis, jangan lupa mampir kesini. Bukan karena makanannya yang istimewa, tapi karena disini anda bisa melihat banyak professor dan peneliti yang sliweran, membawa nampan makan mereka. Apalagi kalau sampai berani mengajak ngobrol dan diskusi, itu lebih hebat lagi. Minimal, anda bisa dapat kartu namanya.

Setelah beberapa minggu ini stress dikejar waktu untuk menyelesaikan draft paper, rasanya nyaman sekali makan siang sekarang. Baru saja kuserahkan draft-nya ke Dr. Kay, pembimbing academic writing kami. Ditemani jus mangga yang tidak terlalu manis, mataku memandangi nasi dan lauk yang kupesan. Nasi, ayam, kuah kari, kentang dan kacang polong. Terlalu banyak, batinku. Aku sedikit  menyesal, harusnya pesannya cukup nasi, ayam dan kacang saja. Tak perlu ada kentang dan kuah kari. Kentang sudah bisa diatasi dengan nasi, tapi kuah kari? Wadefak! :D

Begitu pertama kali mengecap kuah kari itu, lidah rasanya berontak. Baru aku ingat, ini makanan muslim India, rasa karinya itu benar-benar bikin kapok. Kata mas bodrek, “makanan India itu bagus buat tubuh karena penuh berisi rempah-rempah. Dari Indonesia, cuma orang Bali yang suka masak seperti mereka,” cetus bang Bodrek bangga. Aku cuma tersenyum pahit dengar itu. Pengalamanku dengan nasi India di Foodgle, kantin asrama kami benar-benar membuatku trauma. Mengingat itu, “Takkan ku ulangi lagi membeli nasi orang India,” batinku. Sumpah yang gagal kutepati. Hehe.

Sepanjang observasi kilat dan singkat tentang “perkantinan” di Singapura ini, (kalau tidak salah, namanya Hawker, untuk menyebut kantin-kantin itu). Kantin itu tidak satu penjual, ada banyak warung yang menjual beraneka macam makanan berdasarkan negara. Mayoritas tentu saja Negara yang dekat dengan singapura. Jadi, mayoritasnya ada warung Thai, Vietnam, Filipina, Indonesia dan Malaysia. Varian yang lain biasa berdasarkan etnis, seperti Chinese atau Beijing, Japanese, dan Western. Varian lainnya, ada warung Vegetarian, dan tentu saja Warung Muslim alias Warung berlabel halal, tapi tidak ada warung Christian atau Buddhist dan lainnya.

Alkisah, kantin di asrama kami biasa tutup jam 8-an malam. Jadwal aslinya, mereka buka sampai jam 10 malam. Tapi berhubung sering habis stok pada jam 7, maka tak ayal lagi, tak ada warung yang buka melebihi jam 8. Satu ketika, warung langgananku, satu-satunya warung berlabel Halal tutup seminggu. Mati dah! Selama seminggu pula, aku mesti beli makan di warung yang tidak berlabel halal. Batinku, sambil mengingat ceritera si Syam, teman CRCS yang setahun di Amrik, “sebelum makan, bismillah aja, HALAL!.” Pokoknya selagi bukan daging babi, hajar. Masalah itu digoreng pakai wajan yang sama untuk menggoreng babi, aku tidak tahu (dan tidak pengen tahu, haha). Karena tidak tahu, jadilah diperbolehkan secara hukum fiqih. Jadilah selama seminggu itu aku makan ayam dan sayur terus. Biar tidak bosan, pindah-pindah warung kalau mau.

Suatu saat, aku pengen nyoba masakan India. Seperti biasa, aku order nasi, daging selain babi, dan sayur. Owalah, ternyata yang diambilkan mas pelayannya cuma nasi, kuah warna-warni dan keripik apa gitu. Batinku, “mana sayurnya?.” Begitu dimakan, alamaaakk, “ini kuah apa pula?” jeritku haru! Hehe, dalam hati. Rasanya asin manis kecut pedas, nano-nano, sumpah gak enak. Nasinya? Keriiiing sekali, “Tidak pulen,” pasti gitu kata bang Bondan, pendekar kuliner TV, haha. Tidak maknyuss! Kripik pun aku coba, healah, kayak cengkeh rasanya.

Ampun! Setelah memaksa diri untuk menguyah beberapa sendok, perut rasanya pengen muntah. Setelah tengok kanan kiri, kubawa makanan itu ke rak tempat menaruh piring kotor. Aku menyerah. Kapok sudah. Malam itu, aku cukupkan diri untuk makan roti diolesi selai, pengganti makan malamku yang gagal.

Untuk siang ini, makanan ini bisa aku habiskan, walaupun harus menyisihkan kuah kari yang rasanya nano-nano ini. Orang bilang, anda bisa mengenali budaya suatu bangsa dengan menikmati makanannya. Buatku, itu kurang tepat. Lebih tepat, anda tidak harus mencicipi makanan suatu bangsa, jika itu tidak tepat untuk lidah anda, haha. Bagaimanapun, aku menyukai orang dari India, menyukai film dan lagu bollywood mereka, dan tentu saja, aku mengenal teman-teman India yang hebat-hebat juga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...