Langsung ke konten utama

Remaja dan Romantisme Masa Lalu

Memperingati hari Remaja Internasional, rabu kemarin (4/9) ada aksi damai belasan remaja yang tergabung dalam Jaringan SIAR (Simpul Indonesia untuk Advokasi Remaja) di titik nol kilometre Malioboro. Selain menyuarakan pentingnya peran Negara untuk melindungi hak-hak para remaja, satu isu penting yang menjadi konsern mereka masih terkait dengan maraknya wacana untuk menguji keperawanan para siswi setingkat SMA di sumatera sana.

Dari titik pandang yang mereka sampaikan, mereka merasa bahwa para remaja masih menjadi korban dari stigma dan diskriminasi yang dilakukan oleh lingkungan sekitar, termasuk dalam isu keperawanan. Mereka merasa, bahwa ide untuk menguji keperawanan itu bukan dari niat untuk menekan laju seks bebas di kalangan remaja, tetapi karena masyarakat masih menganggap remaja sebagai sumber dari kerusakan moral. Dengan kata lain, remaja sudah sering kita tuduh sebagai titik mula kebobrokan moral yang memprihatinkan seperti seks bebas, tawuran antar sekolah, geng motor, dan seabreg penyimpangan sosial yang biasa kita kategorikan sebagai kenakalan remaja.

Satu hal yang mesti kita akui, pembelaan para aktivis SIAR itu mesti kita jadikan bahan perenungan mendalam. Sering kita menganggap dan mencela para remaja kita dengan dalih bahwa mereka masih labil, penuh dengan gairah muda yang menggebu dan minim pertimbangan akal sehat. Mungkin semua anggapan itu benar, tapi tidak mutlak.  Kita juga sering melihat banyak anak muda yang mampu berprestasi dengan baik dan jauh dari kenakalan remaja. Artinya, selalu ada pengecualian untuk semua kategori-kategori sosial yang kita buat. Bahwa banyak remaja yang nakal, itu fakta. Tapi tidak semua fakta bisa menjadi generalisasi, bahwa semua remaja kita nakal.

Harus diakui, kenakalan itu bukan monopoli para remaja. Level generasi diatas para remaja, yakni orang dewasa juga  biasa untuk berbuat nakal. Contoh paling umum seperti kenakalan para pejabat kita yang rajin korupsi dan kolusi demi kepentingan mereka sendiri. Pada titik ini, kenakalan para orang tua ini juga mempunyai ekses yang lebih besar daripada kenakalan remaja kita.

Jika remaja tawuran, paling banter korban mereka akan terluka secara fisik, trauma atau pelakunya masuk penjara selama beberapa minggu. Tapi jika menteri dan anggota DPR kita pada ramai-ramai mengakali proyek Negara, korbannya bukan hanya satu dua orang, tetapi satu bangsa. Lebih parah lagi, kita sudah rugi banyak, tapi banyak pula koruptor yang dilepaskan oleh para hakim-hakim tipikor. Pada titik ini, sudah saatnya kita mengubah pandangan bahwa remaja itu sumber kebobrokan moral. Bukan mereka, tapi kitalah sebagai orang dewasa yang mesti lebih banyak menginsyafi diri, kalau kenakalan kita sebagai orang dewasa jauh mengerikan dan memprihatinkan.

Kenapa kemudian kita selalu menganggap remaja kita sebagai biang kerok? Ada satu tenggara yang layak untuk dipikirkan terkait rentang ruang waktu. Sepertinya, ada satu kecenderungan pada diri kita untuk mengagung-agunkan masa lalu. Sering kita menganggap bahwa masa lalu itu lebih baik dari masa sekarang. Kita menganggap, alangkah brengseknya jaman sekarang, dana alangkah idealnya jaman dulu.

Contohnya, orang islam menganggap masa Nabi Muhammad SAW itu sebagai masa terbaik, kemudian terdegradasi level kebaikannya pada setiap generasi ke generasi. Kesadaran yang muncul kemudian, generasi orang tua sekarang akan dirasa lebih baik dari generasi jaman sekarang. Apalagi, kesadaran ini (bahwa generasi dan masa yang dulu lebih baik dari sekarang) mendapat legitimasi dari hadis nabi yang menyatakan bahwa masanya adalah yang terbaik, diikuti masa sahabat, masa tabi’in, dan seterusnya.

Kesadaran diatas, membuat kita mudah meromantisir masa lalu. Maka tidak heran bukan, ketika kita melihat banyak poster bergambar eyang Soeharto tersenyum (nakal?) sambil berbisik penuh gaya, “Piye le, enak jamanku tho?”. Dari situ, kita bisa dengan gamblang menyimpulkan, jaman kita sekarang ini memang lebih buruk dari jaman pak Harto, kita merindukan dia dengan amat sangat, dan yang lebih parah, kita seperti menyesali kenyataan bahwa kita sesungguhnya hidup di jaman sekarang.

Kita ingin kembali ke masa lalu, tapi itu hal yang tidak mungkin. Maka yang kita lakukan adalah meromantisir masa lalu, mengenangnya dengan pekik rindu dan deraian air mata ratapan. Hasilnya sudah bisa ditebak, muncul orang islam yang ingin Islam bisa kembali seperti jaman Nabi, seolah-olah kita bisa mengimpor masa lalu untuk diterapkan di masa sekarang. Muncul Soeharto fans club yang ingin melanggengkan presiden dari kalangan jenderal militer, dan lain sebagainya. Mereka hidup untuk masa lalu, bukannya menyadari bahwa masa sekarang mempunyai dinamika, tantangan dan peluang yang jauh berbeda dengan masa silam.

Saya selalu tergelitik ketika mendengar ada orang dengan setengah mengeluh setengah menyesal berkata, “Jaman wis akhir, pancene wes bobrok kabeh, gak koyo jamane mbah-mbah biyen.” Saya benar-benar ingin mengatakan pada orang itu, Nabi Muhammad SAW pernah berkata bahwa jarak diutusnya beliau dengan Hari Kiamat itu sudah berjarak sedekat antara jari telunjuk dengan jari tengah. Artinya, jaman Nabi juga sudah jaman akhir, sama-sama bobroknya, sama-sama ada peluang baiknya, tidak beda jauh dengan jaman kita sekarang. Yang perlu kita lakukan bukanlah menyesali dan meromantisir masa lalu, tapi bagaimana kita mengisi waktu sejarak dua jari itu dengan sebaik-baiknya. Sehingga kita tidak akan terjebak pada ide-ide konyol semacam mendirikan Khilafah Islamiyah atau mengetes keperawanan para gadis demi menghentikan kebobrokan moral umat. Karena kita tidak akan pernah kembali ke masa lalu, kecuali, kita punya Doraemon yang punya mesin waktu dalam laci mejanya.

Mari lebih dewasa lagi, dan selamat Hari Remaja Internasional, We are Rock!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Watak Pengecut

Ini sekedar renungan singkat, jangan terlalu diambil hati, tapi tetep boleh dikomentari. Dalam sebuah atau bahkan tiap-tiap forum, mengapa orang Indonesia cenderung suka duduk di belakang daripada di depan? Ada 3 jawaban menurutku.  Pertama, kita memang bangsa yang sopan, sehingga cenderung malu dan merasa tidak pantas untuk duduk di depan daripada orang lain. Kedua, kita ini bangsa yang minderan, merasa diri tidak pantas karena kita memang kurang begitu yakin dengan kemampuan kita sendiri, sehingga kita merasa malu untuk duduk didepan. Ketiga, kita ini bangsa pengecut, tidak pernah mau berdiri didepan, cermin ketidakberanian menjadi pemimpin, mental inlander (terjajah), sehingga kita merasa tidak mampu dan tidak bakalan mau. Takut untuk gagal, tetapi senengnya minta ampun kalau mengejek mereka-mereka yang gagal ketika berada didepan, tetapi ketika disuruh kedepan sendiri tidak mau. Saya sendiri cenderung memilih nomer 3. Cenderung skeptis memang, tapi apa mau ...

NU sebagai Identitas kultural : Sebuah perspektif pribadi*

Oleh : Azzam Anwar* 31 Januari 2012 nanti, NU akan genap berumur 86 tahun. Sebuah penggalan waktu yang amat sangat lama. Berbagai lintasan sejarah entah itu kelam ataupun terang telah membuat NU semakin kokoh eksistensi dan semangatnya. Tidak dipungkiri, NU telah sedemikian lama mewarnai perjalanan sejarah ini, dari setiap masa ke masa, menjadi fenomena yang nyata hadir dan memberi kontribusi entah negatif entah positif bagi kita semua. Sebagai sebuah fenomena, NU tentu saja amat sangat luas untuk sekedar diteropong dengan tulisan singkat ini, tapi itu semua niscaya untuk dilakukan. Tulisan ini adalah refleksi pribadi seorang anak muda yang berusaha memahami eksistensi dirinya dengan menjadikan NU sebagai cermin besar pusat refleksi itu sendiri. Sebagai sebuah refleksi, tentu saja ia harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan jujur dan apa adanya yang muncul dari skema konstruk dan pengalaman pribadi penulis selama bergulat dengan dunia ke-NU-an. NU sebagai sebuah pengalaman pribad...

Semua itu bernama : Kesempatan...

Di depanku, duduk mencangkung dua sahabat lama yang saling berbicara seru berdua tentang cerita lama mereka. Jadi pendengar setia, aku ikut tersenyum simpul dan kadang tertawa. Cerita yang seru. Karena, inilah realitas yang mungkin tidak pernah atau jarang ku temui dimanapun. Dua sahabat lama itu bercerita tentang nostalgia mereka berdua ketika masih sama-sama kuliah S1 dulu. Satu hal yang tidak aku percayai, dua orang sahabat ini dulunya adalah teman sekampus, kakak adik angkatan. Tetapi, dua orang ini berbeda dalam perjalanan kedepan. Satu orang melanjutkan kuliah S2, satunya lagi menikah dan bergelut dengan realitas nyata hidup berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Kesan yang aku tangkap, meskipun pembicaraan dua orang itu tidak mempunyai kesamaan perbincangan, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati : Kesempatan. Yang sudah menikah mengatakan bahwa teman yang bisa lanjut S2 ini beruntung sekali. Hitung-hitungannya bukan sekedar ekonomis dan edukasi lagi, t...