Langsung ke konten utama

SAMPANG

Sampang I
Perih rasanya
Mendengarmu bergolak, tiada sunyi
Pedih rasanya
Melihatmu terkapar, tiada bunyi
Remuk rasanya
Merasakan dukamu, tiada henti

Sekali lagi, atas nama Tuhan
Kalian usir tetangga
Tak puas kalian bakar rumahnya
Tak puas kalian bunuh sekian nyawa
Tak puas kalian asingkan mereka dari tanahnya sendiri

Sekali lagi, atas nama Tuhan
Istighosahmu meminta
Doamu menggelegar kemana-mana
Sekedar menjaga citra
Ataukah ujung putus rasa

Palsu, kalian sungguh palsu
Atas nama Tuhan, untuk dirimu sendiri
Atas nama Tuhan, untuk nafusumu sendiri

Nun jauh disana, Muhammad menangis lara
Sabdanya tak lagi menggema
Sabdanya tak lagi mewarna

“Bukanlah mukmin,
Jika lidahnya
Membuat resah tetangganya”

Kalian tak membuatnya resah
Kalian malah membuatnya musnah

Sampang II
Sekelompok manusia
Mengayuh pedal sepeda
Mencari simpati
Demi harap yang kian sirna

“Kami Syi’ah
Tanpa Rumah”
Pekik mereka

Di sekujur langit
Malaikat menatapi mereka
Haru menjadi biru
Tangis menusuk kalbu

Di sekujur bumi
Manusia tak acuh
Menjadi sampah berita
Sirna sekejap mata

Malaikat, menyumpahi kita
Lihat! Manusia memang benar-benar perusak!

Sampang III
Wajah buram
Lelah menahan beban
Kaki-kaki
Tak lagi mampu menumpu
Kebanggaan atas nama manusia
Kebahagiaan atas nama segala

Cemas dan resah meraja
Gila dan takut menyatu warna

Di pengungsian,
Kami menjadi pegas
Melentik sendiri
Meradang sendiri
Mengeras dan melemah
Tanpa “Teman”
Tanpa “Tuhan”

Sampang IV
“Kubaca qur’an
Tanpa kata, tanpa suara”

Itu salah! Tuduhmu gerah

Bacalah qur’an
Dengan fasih dan keras
Biar jelas makhraj dan tajwid

“Kubaca qur’an
Tanpa makna, tanpa rasa”

Itu salah!

Bacalah qur’an
Dengan tadabbur dan hikmah

“Tahukah kau,
Aku tak bisa sepertimu
Sebab setiap lafal yang kubaca
Membuatku takut dan malu
Takut atas semua dosaku
Malu atas semua bodohku
Kelu mengikat lidah”

Itu…
Itu tidak salah! Gagapmu kelu

“Nak, bacalah qur’an dengan hatimu
Biar lembut nurani dan jiwamu
Tak sekeras kata “Salah!”
Ketika kau menuduhku.”

Sampang V
Malu aku
Menjadi muslim tanpa baju akhlak
Telanjang bulat
Pertontonkan marah dan niat jahat
Untuk tetanggaku sesama ummat

Malu aku
Menjadi muslim palsu
Menyamarkan Tuhan demi nafsu
Menghilangkan kawan demi ke-aku-anku

Malu aku
Untukku yang tak pernah merasa malu!

Singapura, 26 Juni 2013. Untuk sodaraku kaum syi’ah sampang.
Bahkan, mereka juga sama-sama shalatnya denganku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Toughest Week

I would genuinely say that this week is one of the hardest. Problems visit like a flood, not giving me some time to breathe. However, I fortunately feel okay, considering it as a process that can make me stronger. First, my boss decided to cut off my salary this morning because of giving the batiks that I should make into office's uniform into my friend from Philippine. I did it because I felt bad to invite him to my pesantren without handing over such souvenir. I thought that I can buy it another batiks which has similar pattern (kawung) at Beringharjo market. However, my boss had different view and the result is that he punished me by cutting my salary as a substitute to price of batiks he provided to me. It is rather funny I guess, but I will not make a mess with that small problem. I should fully accept it as a risk when I hand my office's gift into other. Second, I failed to secure some money to pay rent for the house. Therefore, I turn up into the last choice to ...

Berotak Tekad, Berhati Malaikat; a Tribute to Undar Jombang

18 September 1965, tanggal kelahiran Undar Jombang. Sudah begitu tua, setua Gus Mujib, Neng Eyik dan Gus Lukman yang sampai sekarang masih menjadi penguasa-penguasa Undar, asyik mengangkangi “tahta kecil” mereka. Tapi Undar memang istimewa, biarpun dihantam krisis kepemimpinan sejak lama, sampai sekarang masih saja berdiri kukuh. Menantang langit, mengukir jaman. Undar selalu ada, tapi sedihnya, mungkin ia juga pelan-pelan menjadi tiada. Timbul tenggelam, mencari pegangan kesana kemari tanpa pertolongan siapapun. Bukan karena tidak ada yang menolong, tapi karena Undar sendiri yang menolaknya. Di stasiun Purwokerto, jam 6 pagi pada akhir Juli 2004, aku bersama seorang sahabat karib menaiki kereta Logawa jurusan Purwokerto – Surabaya. Tiket seharga 21 ribu selalu kupegang erat-erat. Ini perjalananku pertama kali yang jauh dari Cilacap, kota kelahiranku. Hari itu, aku dan temanku berangkat ke Jombang, untuk nyantri dan kuliah di Universitas Darul Ulum Jombang. Sejak melihat brosur ka...

Nyonya Indon

Apa reaksi anda ketika mendengar orang Malaysia atau Singapura menyebut Indonesia dengan kata "Indon"? Marah, jengkel dan tidak suka? atau biasa-biasa saja? Aku lebih memilih reaksi kedua. Bukan karena nasionalisme yang kurang, tapi karena pertemuanku dengan ibu masinis MRT ini, jum'at kemarin. Secara kebetulan, kami bertiga ketemu ini di MRT. Ibu ini bekerja sebagai masinis di MRT jurusan Harbour Front. Berpakain seragam SMRT (Singapore Mass Rapid Transportation) yang merah hitam, ibu ini nampak melayu karena kerudung yang dikenakannya, dan terutama sekali, logatnya yang khas. Ibu ini sudah mafhum bahwa kami bertiga berasal dari Indonesia. Aku yang penasaran, bertanya darimana asal beliau. Jawabnya bisa ditebak, beliau melayu keturunan Indonesia yang tinggal lama di Singapura. Asalnya dari Kepulaun Riau. Bahkan dia bilang, akhir minggu ini seharusnya dia pulang ke Riau, tapi gagal disebabkan anaknya yang juga jadi masinis MRT tidak bisa mengantar kesana. Sang anak me...