Malam sabtu kemarin, pondok kecil kami kedatangan Prof. George Quinn,
ahli sastra Jawa dari Australia National University (ANU). Kedatangan
beliau, selain untuk diskusi juga beliau punya niat untuk ziarah ke
makam Mbah Nuriman, leluhur dan ulama Mlangi yang masih keturunan
keraton Jogjakarta. Kesan pertama bertemu, meski sudah berumur 70 tahun
lebih, beliau masih saja segar dan bugar. Rahasianya, beliau bilang ada
pada latihan rutin Tai Chi setiap pagi selama sekitar 1 jam dan rutinan
jalan kaki bersama istrinya. "Rasanya, seperti mendapat asupan tonikum
setiap hari", begitu kata Pak George tentang manfaat Tai Chi-nya.
Diskusi sederhana pada malam kemarin itu berkisar pada ketertarikan Pak George tentang fenomena ziarah di Indonesia, utamanya di Jawa, Bali dan Makassar. Peningkatan jumlah peziarah yang massif setiap tahun membuat beliau tertarik lebih jauh untuk mendalami apa yang mungkin bisa dipelajari lebih mendalam. Demi meneliti itu, beliau sudah mengunjungi 131 situs peziarahan sejak tahun 2007 silam. Salah satu ha menarik yang beliau sampaikan, "Ziarah bisa jadi cara untuk mentransfer pengetahuan, cerita dan kebijaksanaan masa lalu, sehingga bisa efektif untuk menjaga warisan dan tradisi dari masa ke masa." Beliau juga berhasrat untuk bisa menyusun semacam peta peziarahan yang mencakup posisi dan sentralitas satu situs secara geografis, sosial dan spiritual.
Jika ini benar-benar terwujud, maka akan sangat membantu pemetaan bangsa Indonesia, utamanya Islam Indonesia. Alasannya sederhana. Meski fenomena ziarah sering dipersoalkan (misal tentang valid dan tidaknya, tentang bahaya sirik dan sejenisnya, dll), harus diakui bahwa ziarah memang sudah menjadi salah satu tradisi bangsa ini. Secara lebih general, di banyak suku dan daerah kepulauan kita, banyak dijumpai pemujaan terhadap nenek moyang dan leluhur yang salah satunya bisa dirangkum dalam tradisi ziarah ini. Jadi, tepat sekali jika kajian dan pemetaan budaya ziarah memang benar-benar bisa bermanfaat bagi keindonesiaan kedepan.
Berbicara keindonesiaa, keprihatinan Pak George juga ada pada gaya berbahasa kita yang terlalu keminggris. Maraknya orang berbahasa Inggris di Indonesia tidak dibarengi dengan kebanggaan kita untuk berbahasa Indonesia, lebih-lebih bahasa lokal. Mencontohkan Jepang, Pak George percaya bahwa massifikasi pemakaian bahasa Inggris tidaklah menjamin kemajuan sebuah negara. Jepang bisa maju dan menguasai industri bukan dengan penguasaan mereka akan bahasa Inggris yang hebat, terbukti sedikit sekali penutur Inggris asli jepang yang benar-benar bagus. Secara tidak langsung, kritik Pak George ini menyentil pada hebohnya kebijakan pemerintah kita yang sok keminggris, agar segala hal di label internasionalkan, bahkan sampai Ujian Nasional kita pun mencatumkan kelulusan Bahasa Inggris sebagai syarat mutlak.
Kritik subtil itu semakin menyedihkan ketika terlihat semakin rendahnya minat para mahasiswa dan siswa untuk mempelajari bahasa daerah. Di UGM, jurusan sastra Jawa bisa dikategorikan jurusan yang minim peminat, mengingat kuota yang disediakan selalu tersisa banyak. Padahal, eksistensi bahasa daerah itu penting sekali jika kita menyadari, bahasa adalah kandungan dari semua nilai, tuturan, kebijaksanaan, cerita dan sejarah seorang manusia. Jika bahasa itu punah, maka punah pula semua kandungan itu tanpa jejak. Akhir-akhir ini, sudah sulit dijumpai anak muda yang bisa menulis dengan tulisan jawa, mahir menguasai tingkatannya dan paham makna yang terkandung disetiap kata dan gramatikalnya dan lain sebagainya.
Diskusi singkat malam itu memberikan kami pencerahan, bahwa ada problem-problem mendasar tentang kebahasaan dan kebiasaan kita yang pelan namun pasti mulai terancam. Tentu saja, kemampuan bahasa Inggris secara mumpuni adalah tuntutan, tapi setidaknya kita juga mengerti, ada krisis laten terhadap identitas dan kebahasaan kita yang mesti kita sadari dengan seksama. Kedepannya, tentu saja ada gugahan untuk mau kembali merenungi sekian kebiasaan dan kebahasaan kita, menjaganya dan tanpa henti berusaha menggali kebijaksanaannya.
Mlangi, 24 Agustus 2013.
Diskusi sederhana pada malam kemarin itu berkisar pada ketertarikan Pak George tentang fenomena ziarah di Indonesia, utamanya di Jawa, Bali dan Makassar. Peningkatan jumlah peziarah yang massif setiap tahun membuat beliau tertarik lebih jauh untuk mendalami apa yang mungkin bisa dipelajari lebih mendalam. Demi meneliti itu, beliau sudah mengunjungi 131 situs peziarahan sejak tahun 2007 silam. Salah satu ha menarik yang beliau sampaikan, "Ziarah bisa jadi cara untuk mentransfer pengetahuan, cerita dan kebijaksanaan masa lalu, sehingga bisa efektif untuk menjaga warisan dan tradisi dari masa ke masa." Beliau juga berhasrat untuk bisa menyusun semacam peta peziarahan yang mencakup posisi dan sentralitas satu situs secara geografis, sosial dan spiritual.
Jika ini benar-benar terwujud, maka akan sangat membantu pemetaan bangsa Indonesia, utamanya Islam Indonesia. Alasannya sederhana. Meski fenomena ziarah sering dipersoalkan (misal tentang valid dan tidaknya, tentang bahaya sirik dan sejenisnya, dll), harus diakui bahwa ziarah memang sudah menjadi salah satu tradisi bangsa ini. Secara lebih general, di banyak suku dan daerah kepulauan kita, banyak dijumpai pemujaan terhadap nenek moyang dan leluhur yang salah satunya bisa dirangkum dalam tradisi ziarah ini. Jadi, tepat sekali jika kajian dan pemetaan budaya ziarah memang benar-benar bisa bermanfaat bagi keindonesiaan kedepan.
Berbicara keindonesiaa, keprihatinan Pak George juga ada pada gaya berbahasa kita yang terlalu keminggris. Maraknya orang berbahasa Inggris di Indonesia tidak dibarengi dengan kebanggaan kita untuk berbahasa Indonesia, lebih-lebih bahasa lokal. Mencontohkan Jepang, Pak George percaya bahwa massifikasi pemakaian bahasa Inggris tidaklah menjamin kemajuan sebuah negara. Jepang bisa maju dan menguasai industri bukan dengan penguasaan mereka akan bahasa Inggris yang hebat, terbukti sedikit sekali penutur Inggris asli jepang yang benar-benar bagus. Secara tidak langsung, kritik Pak George ini menyentil pada hebohnya kebijakan pemerintah kita yang sok keminggris, agar segala hal di label internasionalkan, bahkan sampai Ujian Nasional kita pun mencatumkan kelulusan Bahasa Inggris sebagai syarat mutlak.
Kritik subtil itu semakin menyedihkan ketika terlihat semakin rendahnya minat para mahasiswa dan siswa untuk mempelajari bahasa daerah. Di UGM, jurusan sastra Jawa bisa dikategorikan jurusan yang minim peminat, mengingat kuota yang disediakan selalu tersisa banyak. Padahal, eksistensi bahasa daerah itu penting sekali jika kita menyadari, bahasa adalah kandungan dari semua nilai, tuturan, kebijaksanaan, cerita dan sejarah seorang manusia. Jika bahasa itu punah, maka punah pula semua kandungan itu tanpa jejak. Akhir-akhir ini, sudah sulit dijumpai anak muda yang bisa menulis dengan tulisan jawa, mahir menguasai tingkatannya dan paham makna yang terkandung disetiap kata dan gramatikalnya dan lain sebagainya.
Diskusi singkat malam itu memberikan kami pencerahan, bahwa ada problem-problem mendasar tentang kebahasaan dan kebiasaan kita yang pelan namun pasti mulai terancam. Tentu saja, kemampuan bahasa Inggris secara mumpuni adalah tuntutan, tapi setidaknya kita juga mengerti, ada krisis laten terhadap identitas dan kebahasaan kita yang mesti kita sadari dengan seksama. Kedepannya, tentu saja ada gugahan untuk mau kembali merenungi sekian kebiasaan dan kebahasaan kita, menjaganya dan tanpa henti berusaha menggali kebijaksanaannya.
Mlangi, 24 Agustus 2013.
Komentar
Posting Komentar
Thanks for your comment. God bless you always. :)