Langsung ke konten utama

Response Paper to Sita Hidayah : How the world would have to be if there is no “Agama” in Indonesia (Academic Study of Religion)


I do agree that the concept of Agama in Indonesia is more political than religious issue. It can be traced from the history of the application of identity card from Sukarno till now. Every regime has followed the same rule for placing what is people religion there. This action is also followed by the application of the five official religions in Indonesia, which is now becoming six religions, indeed Kong Hu Cu or Confucianism.
It is more political than religious issue because our state tends to take place inside the circulation of religion only and only for making sure that religion always becomes under controlled. Although state has Ministry of Religion now, it could be said that this ministry is still lack of role and influences in the inter-religious affairs. Many people agreed that Ministry of Religion is now only for Moslem people, not for all religions.
This political issue obviously has big effects for religious life in Indonesia. Actually it is not truly new in the discourse of religious daily life here. It has displayed many cases based on the government’s political regulation and application there. The most interesting thing in this case, the relationship between religion and political government, is that there is many colors played and involved in this case. Those colors are such as economic, group, ethnicity and also ideology. It can be referred to the case of communism which was banned and become forbidden ideology in Indonesia. For me, the case of communism in Indonesia is not simply religious case, but larger as Sita noted in her paper, not only about communism but also can be atheist, un-nationalist or the most is irreligious.
After understanding that the case of religion in Indonesia is mostly political issue, the next question is how do we solve it?? It is important question because as far as I know, many scholars who had finished their reading about the reality just stop and do not do anything. If they give solution, mostly it will be unreal solution. This is the task of many scholars, actually who believe that the change must be create to make a next better life. For me, because this case is based on political side, so we have to finish it from the political side, too. OK, it sounds simply, but we know that we have to do it.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

September

September Kulipat mimpi Kukantongi mantra Lihat, tak ada lagi duka Lihat, rindu kita melanglang buana Ini September Saat kita segera berangkat Memula masa singkat, meski Menyimpan geletar gelap Dan sendu tasbih para malaikat Melukis gemerlap esok Merajut dunia Melibas prahara Tak usah bersedih Sedang kesedihan pun mulai bosan Jadi teman kecil kita Mari sulut semangat Biar berkilat semua karat Dan benderang semua pekat Untuk Bunga Kutulis puisi untukmu Agar terketuk segala pintu Dan terbuka segala rahasia Kita benar-benar berbeda Meski Waktu selalu saja cemburu Dengan diam yang kita bicarakan Dengan cerita yang kita bisukan Untuk Bunga Engkaulah penanda baru Pada setiap jejak yang kubuat Untuk memintal ruang waktu Meski jauh menjadi karib Meski koma menjelma titik Demi Waktu Demi Waktu Manusia selalu berada dalam kerugian Demi Waktu Manusia tempat segala kesalahan Demi Waktu Manusia-lah kekasi...

Berotak Tekad, Berhati Malaikat; a Tribute to Undar Jombang

18 September 1965, tanggal kelahiran Undar Jombang. Sudah begitu tua, setua Gus Mujib, Neng Eyik dan Gus Lukman yang sampai sekarang masih menjadi penguasa-penguasa Undar, asyik mengangkangi “tahta kecil” mereka. Tapi Undar memang istimewa, biarpun dihantam krisis kepemimpinan sejak lama, sampai sekarang masih saja berdiri kukuh. Menantang langit, mengukir jaman. Undar selalu ada, tapi sedihnya, mungkin ia juga pelan-pelan menjadi tiada. Timbul tenggelam, mencari pegangan kesana kemari tanpa pertolongan siapapun. Bukan karena tidak ada yang menolong, tapi karena Undar sendiri yang menolaknya. Di stasiun Purwokerto, jam 6 pagi pada akhir Juli 2004, aku bersama seorang sahabat karib menaiki kereta Logawa jurusan Purwokerto – Surabaya. Tiket seharga 21 ribu selalu kupegang erat-erat. Ini perjalananku pertama kali yang jauh dari Cilacap, kota kelahiranku. Hari itu, aku dan temanku berangkat ke Jombang, untuk nyantri dan kuliah di Universitas Darul Ulum Jombang. Sejak melihat brosur ka...

Malaysia, the second

Mendarat di KLIA (Kuala Lumpur International Airport), segera saja mata kami semua disambut dengan jejeran pesawat Malaysia Airlines (MAS) dan Airasia, dua pesawat kebanggaan orang Malaysia. Sebelumnya, ketika bersiap-siap mendarat, hanya sawit dan sawit yang menjadi pandangan kami. Memang, Malaysia sedang bergiat memacu penanaman sawit, agar bisa menyaingi Indonesia, sang pemimpin nomer satu produksi sawit sedunia. Menjejakkan kaki di KLIA ini, adalah kesempatan keduaku menjejak negeri jiran ini. Mei atau Juni kemarin, aku sudah sempat masuk ke negara ini, meski hanya di Johor Bahru, negara bagian yang berbatasan langsung dengan Singapura. Artinya, Pasporku pun sudah dua kali di stempel oleh negara serumpun kita ini, hehe. Seperti sudah pernah kutulis, bandara internasional adalah wajah pertama yang akan menyambut anda di suatu negara. Ia bisa jadi cerminan baik dan buruknya pelayanan di sebuah negara. Pada kondisi ini, Indonesia mesti mengakui kualitas pelayanan yang lebih b...