Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2013

Hybrid Cyborg

Dari jendela bertirai krem, nampak jajaran apartemen mahasiswa blok 20-23. Aku sendiri tinggal di Blok 24, lantai 2. Sudah sebulan ternyata, aku menghuni kamar ini. Jejeran blok didepan, itu yang menjadi santap pandang sehari-hari. Disertai tingkah polah para penghuninya, dari lapangan basket, kantin, taman, shared room, dan tempat barbeque-an. Hidup sudah mulai terasa normal, meskipun kadang-kadang masih tetap kesulitan mengatur jadwal hidup. Setelah 2 minggu terakhir, workshop kami tentang pembuatan abstrak sudah selesai. Hasilnya sudah dikirim ke Jonathan, pegawai dan koordinator pengumpulan naskah di ARI. Workshop ini masih belum terlalu melelahkan, karena dulu kami sudah diminta mengirimkan sebelum berangkat ke singapura. Tinggal bimbingan dan koreksi dari Dr. Kay Mohlmann, pembimbing  academic writing  kami yang super baik, super sabar dan super bersahabat. Kami beruntung bisa dibimbing beliau, karena kata beliau sendiri, inilah tahun terakhir beliau tinggal di Singapura. Se

Fahruddin Nasrulloh dan Sebuah Kenangan

Beberapa hari kemarin, saya berbincang renyah dengan mas Salman, seorang penyair, penulis novel, aktor pementasan lulusan S1 dan S2 dari ISI Jogjakarta. Kami berdua duduk di halte bus kampus NUS (National University of Singapore), menunggu bus yang akan menjemput kami pulang ke apartemen. Mendengar beliau bercerita tentang pengalamannya malang melintang di Jogja, aku tertarik bertanya tentang seseorang.            "Mas Salman kenal dengan mas Fahruddin?, Fahruddin Nasrulloh dari Jombang" tanya saya. "Dia dulu sudah malang melintang di Jogja lho mas" sambung saya.            "Oh, tau saya. Dia yang dari IAIN kan?" jawab mas Salman dengan pandang menerawang. "Iya, saya tau dulu di Jogja bareng-bareng" imbuh beliau sambil mengangguk-angguk.            "Beliau mentorku dulu di Jombang, Mas" kataku. "Tapi aku dengar, beliau lagi sakit, sempat muntah darah kemarin"            "Oh, moga-moga cepat sembuh", balas

Balada Shalat

Hidup di Indonesia yang mayoritas Islam, memang menyenangkan untuk muslim sepertiku. Anda tidak perlu pergi jauh naik kereta api atau bis hanya untuk bisa jum'atan. Anda juga tidak perlu susah-susah untuk bangun sholat subuh, karena sekian speaker masjid akan membangunkan anda. Tapi tidak di Singapura, kawan. Masjid, mushola, apalagi suara azan berkumandang itu hampir tidak ada. Belum lagi perbedaan waktu yang padahal cuma berjarak 1 jam lebih cepat. Inilah cerita tentang sebuah penyesuaian budaya. Prinsip tentang ruang waktu yang benar-benar menentukan bagi hidup manusia untuk survive. :) Waktu shalat disini lebih lambat sekitar sejam atau 2 jam dari waktu biasa di Indonesia bagian barat. Di Jogja, Jakarta, Jombang atau Cilacap, waktu shalat magrib kurang lebih pukul pukul jam 6, disini pukul 7. Subuh pukul 5, jadinya pukul 6 disini baru shalat. Semua dapat tambahan waktu sejam pokoknya. Yang sampai sekarang masih kurasa aneh, Jam 6 sore disini masih terang benderang. Asing sekali

Nyonya Indon

Apa reaksi anda ketika mendengar orang Malaysia atau Singapura menyebut Indonesia dengan kata "Indon"? Marah, jengkel dan tidak suka? atau biasa-biasa saja? Aku lebih memilih reaksi kedua. Bukan karena nasionalisme yang kurang, tapi karena pertemuanku dengan ibu masinis MRT ini, jum'at kemarin. Secara kebetulan, kami bertiga ketemu ini di MRT. Ibu ini bekerja sebagai masinis di MRT jurusan Harbour Front. Berpakain seragam SMRT (Singapore Mass Rapid Transportation) yang merah hitam, ibu ini nampak melayu karena kerudung yang dikenakannya, dan terutama sekali, logatnya yang khas. Ibu ini sudah mafhum bahwa kami bertiga berasal dari Indonesia. Aku yang penasaran, bertanya darimana asal beliau. Jawabnya bisa ditebak, beliau melayu keturunan Indonesia yang tinggal lama di Singapura. Asalnya dari Kepulaun Riau. Bahkan dia bilang, akhir minggu ini seharusnya dia pulang ke Riau, tapi gagal disebabkan anaknya yang juga jadi masinis MRT tidak bisa mengantar kesana. Sang anak me

Masjid Syiah dan India Tamil

Dari Merlion, si patung singa bertubuh ikan, kami berempat kembali ke Funnan Mall, nganter si Adrian untuk mencari aksesori Macbook-nya. Sebelum kesitu, kami bertiga (kecuali bang bodrek) memutuskan ke Masjid terdekat untuk shalat Asar dan magrib sekaligus. Melewati Funnan Mall, kami berbelok kanan melewati Park Hotel dan bertanya pada satpam hotel. Dengan ramah, kami ditunjukkan arah masjid yang ternyata ada diseberang belakang hotel Park. Jam menunjukkan pukul 7.05, sementara Magribnya akan mulai jam 7.10 sore. Bergegas kami ambil wudlu dan jamaah diimami mas Salman. Begitu selesai, muncul bapak-bapak berpakaian putih ala Pakistan, berjenggot panjang dan berpeci haji. 2, 3 sampai 6 orang datang. Adzan dilantunkan, dan saat itu kami menyadari, adzan-nya ternyata berbeda dengan yang biasa kami dengar di Indonesia atau di Makkah Madinah sekalipun. Pasca adzan, langsung iqomah. Kami bertiga bergegas masuk, ngikut jamaah. Ternyata, mereka memang benar-benar berbeda cara shalat dengan