Langsung ke konten utama

Response paper to Clifford Geertz: The Religion of Java (Theories of Religion and Society)


Geertz’ concept about Abangan, Santri and Priyayi is no longer enough to analyze the religious differentiation in Javanese today because he has lack of understanding of each group, especially Santri’s development today. Geertz has a great idea how to analyze and see the religio-social reality in Java with his concept of that 3 groups. But it still does not work to analyze the rapid development now, especially in Santri’s group.
Geertz has identified Javanese people into 3 groups, Abangan, Santri and Priyayi. The Abangan is a representation of farmer, Priyayi for bureaucracy and Santri for seller in the market. This identification was so helpful at the time and became the majority perspective for long time. As the time goes by, this categorization has many critics and disagreement from other scholars. The main critique is the application of those categories into the reality of Javanese today. Many critiques said that for example, if someone was identified as an Abangan now, how do We know that he is an Abangan people. If he is a farmer, it does not work well when we see that many farmers in village are Santri too, they go to mosque and pray there.
Most of the Geertz’ categorization of Javanese people is not applicable in the reality. Some scholars, for example, Abdul Munir Mulkhan had given another categorization for Javanese people, especially in Santri’s group. He categorized that know we have an hybrid group between Abangan, Santri and Priyayi. His thesis called “Santrinisasi birokrasi and Birokratisasi Santri” tells us about the diffusion of each group’s role from the sharing power in the government. This categorization is based on the research on Suharto’s era, when Suharto has recruited many people to be bureaucrats. This policy has converted many people to be hybrid group because Suharto used many terms and rules from religious values, especially Islam.
Today, the Greetz’ categorization is not imposed as majority analysis in Javanese or generally Indonesian people because it has many contradiction in the reality. Although it does not work well now, Geertz has given us the new perspective for knowing the people’s constellation since his theory was released and influenced many studies of Indonesian people. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

September

September Kulipat mimpi Kukantongi mantra Lihat, tak ada lagi duka Lihat, rindu kita melanglang buana Ini September Saat kita segera berangkat Memula masa singkat, meski Menyimpan geletar gelap Dan sendu tasbih para malaikat Melukis gemerlap esok Merajut dunia Melibas prahara Tak usah bersedih Sedang kesedihan pun mulai bosan Jadi teman kecil kita Mari sulut semangat Biar berkilat semua karat Dan benderang semua pekat Untuk Bunga Kutulis puisi untukmu Agar terketuk segala pintu Dan terbuka segala rahasia Kita benar-benar berbeda Meski Waktu selalu saja cemburu Dengan diam yang kita bicarakan Dengan cerita yang kita bisukan Untuk Bunga Engkaulah penanda baru Pada setiap jejak yang kubuat Untuk memintal ruang waktu Meski jauh menjadi karib Meski koma menjelma titik Demi Waktu Demi Waktu Manusia selalu berada dalam kerugian Demi Waktu Manusia tempat segala kesalahan Demi Waktu Manusia-lah kekasi...

Berotak Tekad, Berhati Malaikat; a Tribute to Undar Jombang

18 September 1965, tanggal kelahiran Undar Jombang. Sudah begitu tua, setua Gus Mujib, Neng Eyik dan Gus Lukman yang sampai sekarang masih menjadi penguasa-penguasa Undar, asyik mengangkangi “tahta kecil” mereka. Tapi Undar memang istimewa, biarpun dihantam krisis kepemimpinan sejak lama, sampai sekarang masih saja berdiri kukuh. Menantang langit, mengukir jaman. Undar selalu ada, tapi sedihnya, mungkin ia juga pelan-pelan menjadi tiada. Timbul tenggelam, mencari pegangan kesana kemari tanpa pertolongan siapapun. Bukan karena tidak ada yang menolong, tapi karena Undar sendiri yang menolaknya. Di stasiun Purwokerto, jam 6 pagi pada akhir Juli 2004, aku bersama seorang sahabat karib menaiki kereta Logawa jurusan Purwokerto – Surabaya. Tiket seharga 21 ribu selalu kupegang erat-erat. Ini perjalananku pertama kali yang jauh dari Cilacap, kota kelahiranku. Hari itu, aku dan temanku berangkat ke Jombang, untuk nyantri dan kuliah di Universitas Darul Ulum Jombang. Sejak melihat brosur ka...

Malaysia, the second

Mendarat di KLIA (Kuala Lumpur International Airport), segera saja mata kami semua disambut dengan jejeran pesawat Malaysia Airlines (MAS) dan Airasia, dua pesawat kebanggaan orang Malaysia. Sebelumnya, ketika bersiap-siap mendarat, hanya sawit dan sawit yang menjadi pandangan kami. Memang, Malaysia sedang bergiat memacu penanaman sawit, agar bisa menyaingi Indonesia, sang pemimpin nomer satu produksi sawit sedunia. Menjejakkan kaki di KLIA ini, adalah kesempatan keduaku menjejak negeri jiran ini. Mei atau Juni kemarin, aku sudah sempat masuk ke negara ini, meski hanya di Johor Bahru, negara bagian yang berbatasan langsung dengan Singapura. Artinya, Pasporku pun sudah dua kali di stempel oleh negara serumpun kita ini, hehe. Seperti sudah pernah kutulis, bandara internasional adalah wajah pertama yang akan menyambut anda di suatu negara. Ia bisa jadi cerminan baik dan buruknya pelayanan di sebuah negara. Pada kondisi ini, Indonesia mesti mengakui kualitas pelayanan yang lebih b...