Langsung ke konten utama

Response Paper To Contemporary Indonesian Buddhism and Monotheism (Academic Study Of Religion)


Buddhism’s acceptance to Pancasila has proven the main role of state to determine what kind of religion itself, but it still does not work to manage the conflict within the religion. From this article, we can conclude that Buddhism has succeeded to get Gov’s admission. It gives Buddhism the same position with another religion, especially with Middle East’s religion, and also many advantages face to face with state. The state has gained their power formally from religion, but it fails to generate all of the dynamics and conflicts within Buddhism itself.
Bikkhu Akhin succeeds to consolidate Buddhism’s adherent by recognizing the concept of One Supreme God. He tried to find similar word of God in the Buddhism, and he found it as Sang Hyang Adhi Buddha. He explained that it word was found it in the Javanese Old Text, Sang Hyang Kamahayanikum which is written on Mpu Sindok’s era, 10th century. This text gave many explanation about how to achieve Buddhahood through the practice of Paramita (ten qualities). It also explained Paramaguhya (the materialization of Budha Wisesa) and Mahaguhya (meditation). The most important thing is about the teaching of Advaya (non-dualism) which is finished the problem of existence and non-existence. This concept is considered as a door to acceptance the concept of Pancasila with belief in One Supreme God. From this acceptance, we can consider that state always succeeds to force their determination to every religion.
The interpretation of Sang Hyang Adhi Budha as One Supreme God has gained the admission from Government, but the problem is rising among Buddhism’s adherents. Many rejections happened. For instance, The Teravadha school preferred to understand God as an Absolute or Un-conditioned. They did not interpret the concept of God as One Supreme God because it seems to formulate God as Abrahamic religion did. This example is one of the proofs that State has limit to force all of the things within religion, especially about the basic thing, the belief in God. The State has succeeded to indoctrinate its interpretation which always contains with political interests.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

September

September Kulipat mimpi Kukantongi mantra Lihat, tak ada lagi duka Lihat, rindu kita melanglang buana Ini September Saat kita segera berangkat Memula masa singkat, meski Menyimpan geletar gelap Dan sendu tasbih para malaikat Melukis gemerlap esok Merajut dunia Melibas prahara Tak usah bersedih Sedang kesedihan pun mulai bosan Jadi teman kecil kita Mari sulut semangat Biar berkilat semua karat Dan benderang semua pekat Untuk Bunga Kutulis puisi untukmu Agar terketuk segala pintu Dan terbuka segala rahasia Kita benar-benar berbeda Meski Waktu selalu saja cemburu Dengan diam yang kita bicarakan Dengan cerita yang kita bisukan Untuk Bunga Engkaulah penanda baru Pada setiap jejak yang kubuat Untuk memintal ruang waktu Meski jauh menjadi karib Meski koma menjelma titik Demi Waktu Demi Waktu Manusia selalu berada dalam kerugian Demi Waktu Manusia tempat segala kesalahan Demi Waktu Manusia-lah kekasi...

Berotak Tekad, Berhati Malaikat; a Tribute to Undar Jombang

18 September 1965, tanggal kelahiran Undar Jombang. Sudah begitu tua, setua Gus Mujib, Neng Eyik dan Gus Lukman yang sampai sekarang masih menjadi penguasa-penguasa Undar, asyik mengangkangi “tahta kecil” mereka. Tapi Undar memang istimewa, biarpun dihantam krisis kepemimpinan sejak lama, sampai sekarang masih saja berdiri kukuh. Menantang langit, mengukir jaman. Undar selalu ada, tapi sedihnya, mungkin ia juga pelan-pelan menjadi tiada. Timbul tenggelam, mencari pegangan kesana kemari tanpa pertolongan siapapun. Bukan karena tidak ada yang menolong, tapi karena Undar sendiri yang menolaknya. Di stasiun Purwokerto, jam 6 pagi pada akhir Juli 2004, aku bersama seorang sahabat karib menaiki kereta Logawa jurusan Purwokerto – Surabaya. Tiket seharga 21 ribu selalu kupegang erat-erat. Ini perjalananku pertama kali yang jauh dari Cilacap, kota kelahiranku. Hari itu, aku dan temanku berangkat ke Jombang, untuk nyantri dan kuliah di Universitas Darul Ulum Jombang. Sejak melihat brosur ka...

Malaysia, the second

Mendarat di KLIA (Kuala Lumpur International Airport), segera saja mata kami semua disambut dengan jejeran pesawat Malaysia Airlines (MAS) dan Airasia, dua pesawat kebanggaan orang Malaysia. Sebelumnya, ketika bersiap-siap mendarat, hanya sawit dan sawit yang menjadi pandangan kami. Memang, Malaysia sedang bergiat memacu penanaman sawit, agar bisa menyaingi Indonesia, sang pemimpin nomer satu produksi sawit sedunia. Menjejakkan kaki di KLIA ini, adalah kesempatan keduaku menjejak negeri jiran ini. Mei atau Juni kemarin, aku sudah sempat masuk ke negara ini, meski hanya di Johor Bahru, negara bagian yang berbatasan langsung dengan Singapura. Artinya, Pasporku pun sudah dua kali di stempel oleh negara serumpun kita ini, hehe. Seperti sudah pernah kutulis, bandara internasional adalah wajah pertama yang akan menyambut anda di suatu negara. Ia bisa jadi cerminan baik dan buruknya pelayanan di sebuah negara. Pada kondisi ini, Indonesia mesti mengakui kualitas pelayanan yang lebih b...