Langsung ke konten utama

Response paper to Mircea Eliade: The Quest; History and Meaning in Religion (Theories of Religion and Social)


Eliade tried to describe the “origin” of religion by tracing it back from the archaic religion. after his tracing back, he argued that the reality of religion contains two sides, sacred and profane. The scared points the eternal and supernatural entity beyond this world supremely and perfectly. In other hand, profane points the reality in man being as human, a worldly means that have relationship with material thing in the world.
 The separation between sacred and profane raises minimally two problems. The first about how firstly human thinks about whether this is profane or sacred. This is not clearly told in Eliade’s explanation about the archaic religion. When people made a boat with certain rules, the question is when they made their rules about that? Eliade has no clear explanation in this case. He just described that everything occurred as a given by nature, no intentionally made by human being. It is important because from this we can learn why people tend to separate between sacred and profane.
 The second question is about the separation itself. The sacred and profane as a clear separation is a scientific work. It does not occur much in the reality. Even though there are any tight separation in the society, this is only occurs in official activity and symbols of religion such as praying, mosque, temple, etc. The reality is more talking about the unity between sacred and profane. Simply talking, there is no clear separation between sacred and profane in the daily activity of people. For instance, the last issue in Indonesia tried the implementation of Social piety. This term social piety implies all every action of people in social activities must be considered as worship to goodness or God. This requires that there is no separation between sacred and profane. Every action is a sacred, because contains the relationship between human and their God.
 The problem of Eliade’s explanation about religion is about describing religion with historical view. He did not give much space for individual experience in determining the concept of religion. Such as Durkheimian scholar, he implies his explanation from social factor and how people in social interaction make agreement and admission of their opinion and problem.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

September

September Kulipat mimpi Kukantongi mantra Lihat, tak ada lagi duka Lihat, rindu kita melanglang buana Ini September Saat kita segera berangkat Memula masa singkat, meski Menyimpan geletar gelap Dan sendu tasbih para malaikat Melukis gemerlap esok Merajut dunia Melibas prahara Tak usah bersedih Sedang kesedihan pun mulai bosan Jadi teman kecil kita Mari sulut semangat Biar berkilat semua karat Dan benderang semua pekat Untuk Bunga Kutulis puisi untukmu Agar terketuk segala pintu Dan terbuka segala rahasia Kita benar-benar berbeda Meski Waktu selalu saja cemburu Dengan diam yang kita bicarakan Dengan cerita yang kita bisukan Untuk Bunga Engkaulah penanda baru Pada setiap jejak yang kubuat Untuk memintal ruang waktu Meski jauh menjadi karib Meski koma menjelma titik Demi Waktu Demi Waktu Manusia selalu berada dalam kerugian Demi Waktu Manusia tempat segala kesalahan Demi Waktu Manusia-lah kekasi...

Berotak Tekad, Berhati Malaikat; a Tribute to Undar Jombang

18 September 1965, tanggal kelahiran Undar Jombang. Sudah begitu tua, setua Gus Mujib, Neng Eyik dan Gus Lukman yang sampai sekarang masih menjadi penguasa-penguasa Undar, asyik mengangkangi “tahta kecil” mereka. Tapi Undar memang istimewa, biarpun dihantam krisis kepemimpinan sejak lama, sampai sekarang masih saja berdiri kukuh. Menantang langit, mengukir jaman. Undar selalu ada, tapi sedihnya, mungkin ia juga pelan-pelan menjadi tiada. Timbul tenggelam, mencari pegangan kesana kemari tanpa pertolongan siapapun. Bukan karena tidak ada yang menolong, tapi karena Undar sendiri yang menolaknya. Di stasiun Purwokerto, jam 6 pagi pada akhir Juli 2004, aku bersama seorang sahabat karib menaiki kereta Logawa jurusan Purwokerto – Surabaya. Tiket seharga 21 ribu selalu kupegang erat-erat. Ini perjalananku pertama kali yang jauh dari Cilacap, kota kelahiranku. Hari itu, aku dan temanku berangkat ke Jombang, untuk nyantri dan kuliah di Universitas Darul Ulum Jombang. Sejak melihat brosur ka...

Malaysia, the second

Mendarat di KLIA (Kuala Lumpur International Airport), segera saja mata kami semua disambut dengan jejeran pesawat Malaysia Airlines (MAS) dan Airasia, dua pesawat kebanggaan orang Malaysia. Sebelumnya, ketika bersiap-siap mendarat, hanya sawit dan sawit yang menjadi pandangan kami. Memang, Malaysia sedang bergiat memacu penanaman sawit, agar bisa menyaingi Indonesia, sang pemimpin nomer satu produksi sawit sedunia. Menjejakkan kaki di KLIA ini, adalah kesempatan keduaku menjejak negeri jiran ini. Mei atau Juni kemarin, aku sudah sempat masuk ke negara ini, meski hanya di Johor Bahru, negara bagian yang berbatasan langsung dengan Singapura. Artinya, Pasporku pun sudah dua kali di stempel oleh negara serumpun kita ini, hehe. Seperti sudah pernah kutulis, bandara internasional adalah wajah pertama yang akan menyambut anda di suatu negara. Ia bisa jadi cerminan baik dan buruknya pelayanan di sebuah negara. Pada kondisi ini, Indonesia mesti mengakui kualitas pelayanan yang lebih b...