Langsung ke konten utama

Response paper to Postcolonial consciousness in Indonesia: Azyumardi Azra (Theories of Social and Religion)


The tendency of the intellectual content of the transmission process of a network of Middle East scholars into the Archipelago (Nusantara) is more of a Neo-Sufism, which is the fruit of the integration of understanding the Qur'an and Hadith with a variety of religious understanding and practice of the scholars at that time.
Local thought of clerics and the contribution of scholar network to the process of Islamization of the Archipelago considered very large, especially after the relationship with the Middle East and Nusantara scholars began intense. There are some scholars who are very instrumental in the process of Islamization of Nusantara, among others: Nur al-Din al-Raniri, 'Abd. Ra'uf Al-Sinkili, Muhammad Yusuf Al-Maqassari, Al-Palimbani, Al-Banjari, and many others.
After a long process of Islamization of Nusantara, on the subsequent development of the Islamic world is very interesting to study about various intellectual tendencies which are new and valuable ammunition for the scholars in fostering and preserving Islam in the archipelago. It is very important to be studied to establish the understanding that Islam in Indonesia was derived from sources that could be accounted for, either horizontally or vertically.
As known, the process of interaction Muslim leaders from around the world share in Haramain has spawned a variety of friction, particularly in the field of religion. After going through a fairly long integration among Muslims Haramain, Persia, India and Nusantara, it appears that significant differences in the socio-cultural background of each condition. So do not be surprised if Haramain position as a "melting pot" (melting pot) various traditions of "small" Islam that fused to form "new synthesis" of the Islamic tradition. Spirit to return to Sunni orthodoxy seems to reach the culmination, resulting in the emergence of a new spirit, the spirit of revival that inspired the establishment of school in the Middle East region after the founding of Nidhamiyah school.
The period of reconciliation began to adorn the pattern of interaction seems to scholars in this period. It is characterized by mutual approach-oriented scholars Shari'a (the fuqaha ') with the Sufis. Long-lasting conflict between the two groups of scholars began to recede, began the development of doctrine which is characterized by persistent taught by Al-Ghazali and Al-Qushayri several centuries before that contribute greatly to the birth of the schools of Neo-Sufism.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

September

September Kulipat mimpi Kukantongi mantra Lihat, tak ada lagi duka Lihat, rindu kita melanglang buana Ini September Saat kita segera berangkat Memula masa singkat, meski Menyimpan geletar gelap Dan sendu tasbih para malaikat Melukis gemerlap esok Merajut dunia Melibas prahara Tak usah bersedih Sedang kesedihan pun mulai bosan Jadi teman kecil kita Mari sulut semangat Biar berkilat semua karat Dan benderang semua pekat Untuk Bunga Kutulis puisi untukmu Agar terketuk segala pintu Dan terbuka segala rahasia Kita benar-benar berbeda Meski Waktu selalu saja cemburu Dengan diam yang kita bicarakan Dengan cerita yang kita bisukan Untuk Bunga Engkaulah penanda baru Pada setiap jejak yang kubuat Untuk memintal ruang waktu Meski jauh menjadi karib Meski koma menjelma titik Demi Waktu Demi Waktu Manusia selalu berada dalam kerugian Demi Waktu Manusia tempat segala kesalahan Demi Waktu Manusia-lah kekasi...

Berotak Tekad, Berhati Malaikat; a Tribute to Undar Jombang

18 September 1965, tanggal kelahiran Undar Jombang. Sudah begitu tua, setua Gus Mujib, Neng Eyik dan Gus Lukman yang sampai sekarang masih menjadi penguasa-penguasa Undar, asyik mengangkangi “tahta kecil” mereka. Tapi Undar memang istimewa, biarpun dihantam krisis kepemimpinan sejak lama, sampai sekarang masih saja berdiri kukuh. Menantang langit, mengukir jaman. Undar selalu ada, tapi sedihnya, mungkin ia juga pelan-pelan menjadi tiada. Timbul tenggelam, mencari pegangan kesana kemari tanpa pertolongan siapapun. Bukan karena tidak ada yang menolong, tapi karena Undar sendiri yang menolaknya. Di stasiun Purwokerto, jam 6 pagi pada akhir Juli 2004, aku bersama seorang sahabat karib menaiki kereta Logawa jurusan Purwokerto – Surabaya. Tiket seharga 21 ribu selalu kupegang erat-erat. Ini perjalananku pertama kali yang jauh dari Cilacap, kota kelahiranku. Hari itu, aku dan temanku berangkat ke Jombang, untuk nyantri dan kuliah di Universitas Darul Ulum Jombang. Sejak melihat brosur ka...

Malaysia, the second

Mendarat di KLIA (Kuala Lumpur International Airport), segera saja mata kami semua disambut dengan jejeran pesawat Malaysia Airlines (MAS) dan Airasia, dua pesawat kebanggaan orang Malaysia. Sebelumnya, ketika bersiap-siap mendarat, hanya sawit dan sawit yang menjadi pandangan kami. Memang, Malaysia sedang bergiat memacu penanaman sawit, agar bisa menyaingi Indonesia, sang pemimpin nomer satu produksi sawit sedunia. Menjejakkan kaki di KLIA ini, adalah kesempatan keduaku menjejak negeri jiran ini. Mei atau Juni kemarin, aku sudah sempat masuk ke negara ini, meski hanya di Johor Bahru, negara bagian yang berbatasan langsung dengan Singapura. Artinya, Pasporku pun sudah dua kali di stempel oleh negara serumpun kita ini, hehe. Seperti sudah pernah kutulis, bandara internasional adalah wajah pertama yang akan menyambut anda di suatu negara. Ia bisa jadi cerminan baik dan buruknya pelayanan di sebuah negara. Pada kondisi ini, Indonesia mesti mengakui kualitas pelayanan yang lebih b...