Langsung ke konten utama

Si Mungkin


Apakah anda termasuk orang yang sering memakai kata-kata "Mungkin" dalam setiap kalimat yag anda ucapkan? Satu fakta menarik, ketika melihat televisi, orang yang punya rasa kepercayaan diri tinggi, jarang sekali menggunakan si Mungkin ini dalam kalimatnya. Pas lihat talkshow di TV swasta, saya pernah menghitung si narasumber dalam menggunakan kata Mungkin dalam statemen-statemennya. Hasilnya, ada sekitar lusinan kali, sehingga saya capek menghitung dengan jari-jari saya sendiri.

Sejauh yang saya amati,  seringkali orang menggunakan kata MUNGKIN dalam kalimat-kalimatnya dalam perbincangan formal. Bahkan, untuk hal yang sudah pasti pun, orang masih saja mengatakan. Contoh, ketika teman saya menjadi MC (master of ceremony), meskipun kita semua sudah tahu bahwa acara sudah sampai rangkaian terakhir , dia dengan tanpa dosa si MC masih bilang: "baiklah, mungkin cukup sampai disini acara kita, acara terakhir akan ditutup dengan Doa yang akan dibawakan oleh mas dodo.. ". Whelah, sudah jelas-jelas acaranya memang menuju yang terakhir, kok ya masih saja menggunakan si Mungkin ini.

Psikologi si Mungkin
Overload-nya penggunaan si Mungkin ini bukan gejala baru. Sudah sejak jaman saya mahasiswa dulu, si Mungkin telah jadi primadona. Dan, sejak dulu pula saya selalu berusaha menghindari si Mungkin ini ketika berbicara. Berdasarkan pengamatan sekilas dan ala kadarnya, saya menyimpulkan ada 3 aliran dalam penggunaan si Mungkin ini. 

Pertama, si Mungkin adalah representasi ketidakpastian.
Ini memang makna paling jelas yang dikandung si Mungkin ini. Ia menginformasikan sebuah keadaan yang tak bisa dijangkau oleh sang pembicara, sehingga ia cenderung berhati-hati dan mengambil jalan tengah dengan menyisipkan si Mungkin dalam statemennya. Ketidak-pastian disini berbanding lurus dengan kehati-hatian si pembicara agar apa yang ia ucapkan tidak berbalik menghantam dirinya sendiri karena tidak sesuai dengan fakta maupun realitas yang sebenarnya. Kehati-hatian ini muncul, karena si pembicara mempunyai tendensi untuk mempengaruhi opini dan preferensi orang lain, tetapi dengan mengesankan diri pada citra yang tetap bersih dari kepentingan yang ia sembunyikan di balik si Mungkin ini.

Kedua, si Mungkin adalah representasi ketidak-tahuan.
Orang cenderung menebak-nebak sesuatu dengan menggunakan si Mungkin, sebagai fungsi yang paling dominan dalam psikologi pembicara yang kedua ini. Karena sekedar tebakan, si Mungkin ini tidak lagi memberi makna yang begitu kuat dalam kata-kata si pembicara. Si Mungkin disini, menjadi tidak lagi penting sebenarnya untuk diucapkan, karena tebakan tidak seharusnya membebani si pembicara. Wong namanya nebak, salah dan benar kan hanya soal keberuntungan saja. 

Ketiga, si Mungkin adalah representasi ketidak-beranian.
Ini kondisi psikologis yang paling parah. Ketidak-beranian yang muncul secara terselubung dibalik kebiasaan seseorang menggunakan si Mungkin ini sudah benar-benar mendarah daging. Ketidak-beranian itu terlihat dari ketidaksiapan si pembicara untuk menghadapi sesuatu hal yang diluar jangkauannya. Pada awalnya, si pembicara menggunakan si Mungkin untuk mereproduksi kedasaran psikologis tingkat pertama, kemungkinan yang bermakna ketidakpastian. Tetapi, akibat asyiknya menggunakan si Mungkin ini, si pembicara secara tidak sadar dan secara otomatis akan selalu melihat segala sesuatu sebagai hal yang tak pasti. Ia memilih berhati-hati, tetapi kehati-hatiannya itu kemudian menjadi selubung yang pekat untuk semua ketidak-beranian yang menghinggapinya.

Yang terjadi kemudian, si Mungkin menjadi rapalan yang tak pernah dilepaskan. si Mungkin menjadi mantra wajib dalam setiap statemen yang ia (si pembicara)  buat, sehingga si pembicara menjadi tidak sadar dengan realitas yang ia hadapi. Secara tidak langsung, pembicara mencoba memanipulasi realitas, mencoba menundukkannya, meski ironisnya, itu membuat dirinya makin tidak sadar diri dengan apa yang ia ucapkan. Buat saya, si Mungkin disini sudah bertransformasi menjadi topeng yang lucunya tidak efektif, tapi masih sering digunakan oleh banyak orang.

Sudah seharusnya, kita mengontrol mulut kita untuk terlalu sering memakai si Mungkin dalam berucap. Bukan karena tidak baik, tetapi mari kita mengkoreksi diri, masihkah kita menggunakan si Mungkin secara pas, atau ia sudah menjadi penyakit tak sadar yang sebenarnya menunjukkan psikologi kita yang takut untuk menentukan sesuatu secara pasti, atau bahkan untuk melakukan sesuatu.

Demikianlah renungan iseng saya. Mari lebih tegas dan berani menentukan sikap dan memutuskan sesuatu. Stop saying"MAY BE or PERHAPS". Hehehe, Salam. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

September

September Kulipat mimpi Kukantongi mantra Lihat, tak ada lagi duka Lihat, rindu kita melanglang buana Ini September Saat kita segera berangkat Memula masa singkat, meski Menyimpan geletar gelap Dan sendu tasbih para malaikat Melukis gemerlap esok Merajut dunia Melibas prahara Tak usah bersedih Sedang kesedihan pun mulai bosan Jadi teman kecil kita Mari sulut semangat Biar berkilat semua karat Dan benderang semua pekat Untuk Bunga Kutulis puisi untukmu Agar terketuk segala pintu Dan terbuka segala rahasia Kita benar-benar berbeda Meski Waktu selalu saja cemburu Dengan diam yang kita bicarakan Dengan cerita yang kita bisukan Untuk Bunga Engkaulah penanda baru Pada setiap jejak yang kubuat Untuk memintal ruang waktu Meski jauh menjadi karib Meski koma menjelma titik Demi Waktu Demi Waktu Manusia selalu berada dalam kerugian Demi Waktu Manusia tempat segala kesalahan Demi Waktu Manusia-lah kekasi...

Response Paper to Identity and the Politics of Scholarship in the Academic Study of Religion: Introduction (Academic Study of Religion )

Identity and the politics of scholarship explain the correlation between science and study of religion according to identity’s perspective. This correlation arises among the scholars of religion by facing at least two conditions: the first is facing the universal value of scientific knowledge; the second is facing the problem within their identity itself. The first correlation is facing universal value of scientific knowledge. Scientific knowledge as an official truth is based on the value of enlightenment, Reason. Reason is the essence of human being as universal value which exists within human life. The universal claim then bore the claim truth which only can be reached by scientific knowledge. The scientific knowledge has critics because its methodology excludes other form or aspect within its object of research. The historicity of every object of research is one of the earliest perspectives which criticize the universal value of scientific knowledge claims such as ahistoric and...

Malaysia, the second

Mendarat di KLIA (Kuala Lumpur International Airport), segera saja mata kami semua disambut dengan jejeran pesawat Malaysia Airlines (MAS) dan Airasia, dua pesawat kebanggaan orang Malaysia. Sebelumnya, ketika bersiap-siap mendarat, hanya sawit dan sawit yang menjadi pandangan kami. Memang, Malaysia sedang bergiat memacu penanaman sawit, agar bisa menyaingi Indonesia, sang pemimpin nomer satu produksi sawit sedunia. Menjejakkan kaki di KLIA ini, adalah kesempatan keduaku menjejak negeri jiran ini. Mei atau Juni kemarin, aku sudah sempat masuk ke negara ini, meski hanya di Johor Bahru, negara bagian yang berbatasan langsung dengan Singapura. Artinya, Pasporku pun sudah dua kali di stempel oleh negara serumpun kita ini, hehe. Seperti sudah pernah kutulis, bandara internasional adalah wajah pertama yang akan menyambut anda di suatu negara. Ia bisa jadi cerminan baik dan buruknya pelayanan di sebuah negara. Pada kondisi ini, Indonesia mesti mengakui kualitas pelayanan yang lebih b...